Rabu, 19 November 2008

Profil Singkat Imam Khomeini

Profil Singkat Imam Khomeini


Disuatu desa kecil bernama Khomein dekat Ishafan, sekitar 300 km Selatan Teheran pada tanggal 24 September 1902 (20 jamadi- al – Thani 1320 H), Ayatullah al-Uzma ‘Sayyed Ruhullah al-Musawi al-Khomeini dilahirkan. Hari lahirnya juga bertepatan dengan kelahiran putri tercinta Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah az-Zahra ash, istri Imam Ali Bin Abi thalib as (Imam pertama penganut Syiah). Khomeini lahir di keluarga yang tidak saja dikenal taat beragama, bahkan ayahnya Sayyid Musthafa Musawi adalah seorang ayatullah dan pemuka masyarakat. Ayahnya sahid ketika Imam Khomeini baru berusia empat bulan terbunuh ketika memprotes pemerasan dan pajak yang tidak adil, serta praktek-praktek penindasan yang dilakukan oleh aparat Dinasti Qajar di tempatnya tinggal.
Setelah ayahnya meninggal Imam Khomeini diasuh ibunya Hajar A. Khanom yang seorang putri terkemuka diwilayahnya -Ayatullah Mirza Ahmad, dan bibinya Shahibah Khanom. Baru lima belas tahun usianya bibinya meninggal dan tak lama kemudian disusul Ibunya. Wafatnya orang-orang paling disayanginya itu dalam usia yang masih sangat amat muada tak urung memikulnya. Menurut riwayat, ia pun besar sebagai anak muda yang serius, banyak merenung, bahkan menyendiri di Padang Pasir didekat tempat kediamannya. Pada usia dua puluh tujuh tahun, Khomeini menikah dengan Batul, putri seorang ayatullah dari Taheran. Mereka dikaruniai lima anak, dua putra dan tiga putri.

-Pendidikan
Khomeini saat masih anak-anak belajar bahasa Arab, syair persia dan Kaligrafi di sekolah negeri dan ‘maktab’. Maktab, tempat menulis bahasa arabnya, sebenarnya merupakan tempat membaca di Iran. Seorang Mullah atau wanita setempat mengajarkan abjad dalam pelafalan huruf-huruf Arab, dimana anak-anak duduk dilantai dan menirukan apa saja yang dikatakan sang guru. Disiplim di Maktab sangatlah keras. Kalau diatur dengan standar dewasa ini, hukuman untuk salah melafalkan kata-kata Al Qur’an disana amat keras.
Khomeini, sama seperti anak-anak lain diajarkan menghapal beberapa surat terakhir Al Qur’an dan beberapa frase serta kata Arab tentang Nabi dan para Imam. Selesai berbagai buku dan Riwayat para Imam dan sebuah buku Hadist Nabi SAW, diajarkan pula Sejarah versi syiah. Misalnya ada keyakinan bahwa Nabi maupun keluarga Nabi (termasuk para Imam Syi’ah) wafat secara tidak alamiah. Ini ditunjukkan dengan perkataan yang dinisbahkan kepada para imam Syi’ah, kami kalau tidak diracun, ya dibunuh. Perjuangan antara kebenaran dan keadilan ini, atau melihat segala dengan hitam dan putih, membekas pada jiwa dan pikiran Khomeini. Kosa kata dan rasa dizalimi, senantiasa menyertai sepanjang hayatnya. Jika menyangkut rasa tragedi yang mendalam, tidak ada wilayah yang kelabu. Ruhullah mendengar hal ini berulang kali dalma hidupnaya, dari rumah sampai maktab, masjid dan madrasah. Dalam interpretasi sejarah seperti ini, Nabi SAW dizhalimi musuh-musuhnya, putrinya fatimah yang dihormati oleh kaum syiah, diperlakukan secara tidak adil oleh Umar. Suaminya Ali diperlakukan secara tidak adil oleh Abu Bakar, Umar dan Ustman yang merampas haknya untuk menggantikan Nabi SAW sebagai khalifah. Kaum Sunni hanya menganggap Ali sebgai khalifah ke-4 setelah Nabi SAW, sedangkan kaum Syi’ah memandang Ali sebagai Imam pertama. Setelah diperlakukan secara tidak adil, Ali kemudian dibunuh. Merupakan tugas segenap kaum Syiah untuk mengatasi ketidakadilan-ketidakadilan semacam itu.
Khomeini mulai belajar agama dengan lebih serius menjelang ia dewasa. Ia mulai belajar tata bahasa Arab ketika berusia 15 tahun kepada saudaranya Murtaza, yang belajar bahasa Arab dan teologi Isfahan. Khomeini punya bakat khusus dalam menulis dan menyusun syair Persia dan ia juga sangat tekun belajar. Ia banyak belajar syair-syair klasik, dengan penekanan setidak-tidaknya pertama-tama pada syair moral dan etika seperti Klasik besra ‘Golistin Sa’di’ (Taman Mawar). Paduan liririsme dan mistitisme Hafis, yang diajarkan. Hampir tidak ada penyair besar yang tidak dicatat oleh khomeini dalam tulisan-tulisannya dikemudian hari. Nader-e-Naderpour, seorang penyair Iran kontemporer yang bertemu Khomeini pada awal 1960-an di Qum, berkata, “kami membacakan dari seorang penyair, dia membacakan baris keduanya. Khomeini juga memperlihatkan minat pada kaligrafi Persia, mempelajarinya dari seorang Syaikh yang bernama Hamzah Mahalan. Inilah kecakapan yang dipraktekkannya bahkan ketika sudah usia tua.
Khomeini memutuskan untuk pergi ke Isfahan, kota yang merupakan pusat ulama Syiah selama berabad-abad dan juga merupakan kota penting yang letaknya sangat dekat dengan Khomein. Begitu di Isfahan ia mendengar Syaikh Abdul Karim Hai’ri Yazdi, seorang ulamah terkemuka yang meninggalkan Karbala, untuk menghindari pergolakkan politik, mendorong banyak ulama terkemuka untuk mnyatakan penentangan kepada pemerintah Inggris di Irak. Hai’ri tinggal di kota Sultanabad/Arak dekat Isfahan. Bagi siswa yang impiannya adalah Najaf, ini merupakan peluang yang menarik. Khomeini berusia tujuh belas tahun ketika berangkat ke Arak.
Hai’ri mendidik satu generasi ulama terkemuka di Arak, yaitu pada sebuah madrasah yang mendapat bantuan dari Haji Aqa Mohsen Araki (1825/1907), seorang ulama anti konstitusi terkemuka. Sebagai seorang yang baru dalam lingkungan ilmu, Khomeini belajar ‘Suyuti’ sebuah teks tata bahasa Arab karya ulama Mesir, Jalaludin Suyuti (atau As-Suyuti). Ketika belajar Khomeini hanya sedikit kompromi, suatu sifat yang senantiasa menyertainya sepanjang hayatnya. Suatu hari ketika sedang belajar suyuti bersama siswa yang lain dihalaman sekolahnya, Hai’ri sedang mengajar studi lanjutan kepada siswa lain, Khomeini terusik oleh kebisingannya, karena tidak mau bertele-tele Khomeini berpaling ke Hai’ri dan meminta dengan sopan namun tegas, agar berbicara lebih lembut. Hai’ri terkejut ditegur seperti itu oleh seorang murid. Khomeini saat itu merupakan mahasiswa paling berpengalaman dan terdidik serta memakai sorban hitam.
Khomeini berangkat kekota Qum, kota yang pada perkembangannya menjadi pusat teologi yang maju dan mempunyai guru-guru untuk semua cabang ilmu Islam. Ia belajar mengenai teori evolusi Darwin yang banyak digunakan kaum sekulerisme untuk mencela dan mengejek ulama. Ia juga belajar Retorika dan syair dari gurunya M.Reza Majed Syahi. Studi Fiqih dan Ushul diselesaikannya dengan seorang guru di Kasyan yang sebelas tahun lebih tua darinya, yaitu Ayatullah Ali Yasrebi. Kemudian Khomeini mengikuti kelas Hai’ri.
Hai’ri mengajarkan Dars-e Kharej (Studi diluar teks). Pada tingkat ini tidak ada buku pegangan. Para siswa berusaha membentuk pendapatnya sendiri mengenai soal-soal hukum. Inilah tahap pendidikan final Khomeini. Ia menjadi Mujtahid dan menerima ijasah untuk menyampaikan hadis dari empat guru terkemuka pada awala tahun 1930-an. Yang pertama dari empat guru terkemuka itu adalah Muchsin Amin Ameli (wafat 1950), seorang ulama terkemuka dari Libanon. Yang kedua adalah Syaikh Abbas Qumi (Wafat 1959), ahli hadis terkemuka dan sejarahwan Syiah. Guru ketiganya adalah Abdul Qasim Dehkordi Isfahani (wafat 1934). Guru keempatnya adalah M.Reza Masjed Syahi (wafat 1943) yang datang dari Qum pada tahun 1925 karena protes menentang kebijakan anti-Islam Reza Syah.
Kepribadian Khomeini berkembang selaras dengan tradisi Islam, sebagai pemuda yang cerdas, introvert, dan kecewa (kepada keadaan disekelilingnnya), ditambah dengan kemunduran dan keruntuhan kemapanan ulama, maka pemenuhan pencerahan batin lewat mistisme merupakan saat yang menentukan bagi Khomeini. Dia tidak puas dan tidak terpenuhi oleh agama Parsi Ortodoks yang begitu lazim dikalangan mayoritas ulama. Ia menjadi salah satu diantara sedikit orang yang menjadi Faqih terkemuka, mencapai tingkat tertinggi dalam mistisme teoritis dan sekaligus menjadi guru filsafat Islam yang sangat dihormati. Dia juga dipandang sebagai praktisi Islam militan terkemuka.

-Karir Politik
Pada usia 39 tahun, sebuah buku berjudul Kasyaf Al-Asrar (Pengungkapan rahasia-rahasia) karya Khomeini telah diterbitkan. Tepatnya pada tahun 1941. Buku tersbut menuding secara blak-blakan Reza Syah sebagai budak Inggris, Tirani, Koruptor, dan penguasa anti-Islam.
Shah Iran, yang didudukkan kembali ketampuk kekuasaan Iran oleh CIA terbukti tak kalah bersifat diktator dibandingkan ayahnya. Berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkannya hanya membuktikan dirinya sebagi penguasa yang korup dan anti Islam. Ayatollah Khomeini mengucapkan pidato-pidato dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam Syah secara terbuka, sejak maret 1963. Khomeini ditangkap oleh polisi dan tentara rahasia Syah setelah selesai menyampaikan salah satu pidatonya dimadrasah yang dipimpinnya dikota Qum. Sejumlah korban berjatuhan didalam peristiwa ini. Ayatullah Khomeini dibawa ke Taheran dan ditahan di penjara Qasar dikota .
Keesokkan harinya pendukung-pendukungnya berunjuk rasa turun kejalan-jalan, menuntut pembebasan pemimpin mereka. Dibeberapa kota juga dilancarkan pemogokkan-pemogokkan. Pasukan keamanan berupaya meredakan kerusuhan tersebut dengan kekerasan. Dilaporkan korban yang tewas mencapai 15.000 ribu orang di Taheran dan sekitar 400 orang di Qum. Akibat tekanan rakyat, kurang dari setahun setelah penangkapan, Ayatullah Khomeini dibebaskan dari tahanan. Namun sebaliknya dari mengurangi kecaman-kecamannya, Ayatullah Khomeini justru semakin memperhebat serangannya kepada rezim yang berkuasa. Bermula pada November 1946, Khomeini kembali dijebloskan kembali kepenjara, yang disusul dengan pengasingannya ke Bursa di Turki. Hampir setahun di Turki tempat pengasingannya berpindah ke Najaf, Irak. Seperti deketahui Najaf adalah juga salah satu kota suci kaum Syiah. Karenanya keberadaan Khomeini dikota itu justru mempermudah hubungannya dengan para pengikutnya di Iran yang memang telah terbiasa mondar-mandir antara Iran dan Najaf. Dari Najaf, Khomeini secara periodik mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dinegerinya. Selain terbukti efektif dalam membentuk opini publik di Iran, tak jarang pernyataan-pernyataannya menimbulkan respon dari para pengikutnya didalam negeri dalam bentuk aksi-aksi penentangan terhadap rezim yang berkuasa.
Shah yang saat itu sedang berkuasa meminta penguasa Irak agar mengusir Khomeini dari negara tersebut, karena ia melihat efektifnya pengaruh Khomeini. Ayatullah Khomeini dipaksa keluar dari Irak pada 4 Oktober 1978. Pada awalnya ia ingin tinggal di Kuwait, tetapi pemerintah Kuwait dan beberapa pemerintah Negara Muslim yang lain menolak kehadirannya. Penguasa-penguasa negeri Muslim ditekan untuk tidak mengizinkan Ayatullah Khomeini untuk tinggal diwilayah kekuasaannya. Dan perlu diketahui bahwa pada beberapa bulan yang mendahului pengusiran Ayatullah Khomeini didalam negeri itu telah meledak kerusuhan-kerusuhan hebat dalam bentuk penentangan rakyat diseluruh negeri terhadap Syah Iran. Ayatullah kemudian menuju Paris, yang pemerintahnya bersedia menerima kehadirannya. Dan keberadaannya disalah satu negara Barat ini terbukti berperan besar dalam memberi ia akses publisitas bagi aktifis-aktifisnya. Memimpin pergolakan didalam negeri Iran bukan hanya menjadi konsumsi bagi pihak-pihak luar negeri Iran (yang terbukti tak melakukan apa-apa untuk membantunya, kalau bukan malah menentangnya) melainkan justru bagi para pengikutnya didalam negeri Iran sendiri.
Di Paris Khomeini berbicara soal ‘Islam Progresif’ dimana wanita dapat jadi Presiden, dan aturan Islam seperti retribusi (balas jasa atau ganti rugi) tidak akan diberlakukan, kecuali kalau sudah cukup persiapan untuk menerapkan keadilan Islam total.
Ketika keberadaan Khomeini diluar Iran, bagi para pengikutnya hanya ada dua sasaran yang perlu dicapai sebelum akhirnya terjadi revolusi yang sangat dinantikan. Ketika saat posisi Syah sudah mulai melemah karena dukungan rakyat terhadap Khomeini, yaitu perginya syah dan kembalinya Khomeini.
Pada akhirnya 16 Januari 1978, Syah yang sudah sakit-sakitan meninggalkan negerinya dan tidak pernah kembali. Dua minggu kemudian,1 Februari Khomeini tiba di Iran, disambut hangat berjuta-juta rakyat Iran sebagai ‘Pemimpin Revolusi’. Dan penunjukkan Dewan Revolusi merupakan langkah pertama menuju berdirinya institusi yang diperlukan untuk pemerintahan Islam dan hingga pada akhirnya Ayatullah Khomeini sebagai pendiri Negara Republik Islam Iran yang juga adalah pemimpin Revolusi Islam Iran menjadi Imam (Pemimpin secara Spiritual) dan memiliki kedudukan tertinggi di Iran berdasarkan konstitusi Islam Iran setelah disahkan.

Tidak ada komentar: