Minggu, 04 Januari 2009

What They Have Done With Anarchy

Kafia : 
Joshua : Liat di TV gak aksi anak-anak UKI
Kafia : Liat, isunya harga elpiji.
Joshua : Soal isu udah selesai neng. Bangsa ini bakal terus dinamis kalau proses dialektika itu terjadi antara mahasiswa & pemerintah.
Kafia : Terus yang penting buat didiskusiin?
Joshua : Media yang kurang dinamis.
Kafia : Pasti soal Anarki kan?
Joshua : Gw fikir kita mestinya revisi tuh kamus bahasa Indonesia,kalo Anarki terus-terusan diartiin sejenis tindakan brutal & kekerasan.
Kafia : So just do it.
Joshua : Hahahaha…it’s really that simple?
Kafia : May…maybe yes maybe no.
Joshua : Tapi gw serius nih, menurut gw bangsa kita mesti pinter. Gak perlu niru-niru bangsa lain, cukup bercermin diri aja. Minimal bisa lah ngemaknain, makna anarki, anarkisme, dan anarko.
Kafia : Kyknya Bakunin sedi bngt kalo ngeliat dunia skrg.
Joshua : Knp?
Kafia : Mereka semua intelektual loh bang. Mereka ngonsep ide-ide tentang anarkisme, percis kaya ide-ide sosialisme Marx, fasisme Hitler, or liberalismenya Reagen. Tapi saat ini anarki gak lagi dipandang sebagai bagian dari dunia intelektual. Padahal kan Anarkisme itu masuk barisan ideologi kontemporer diperkuliahan pemikiran politik barat, sementara bahasa anarki gak lagi sejajar dengan tema-tema revolusI dan ideologi yang ada, karena cuma dipakai buat ngegambarin prilaku represif dan brutal. Padahal gerakan anarkisme kan salah satunya lewat revolusi.
Joshua : Itu dia maksud gw. Bahasa anarki tuh dipoles sama para penguasa buat ngamanin mereka pada.

Rabu, 19 November 2008

Malaikat Kecil (This’is for Momo)

Malaikat Kecil (This’is for Momo)


Intro: G Em 4x

Ketika malam, aku bermimpi
G Em

Malaikat datang, tuk menemani
G Em


Ketika siang, ia disini
G Em


Ia disisi temani hari
G Em



Bridge 1: 2x

Namun ketika senja, ia menghilang
D Am

Aku mencari tak kutemui
D Am



Reff: 2x

Malaikat kecilku ia terus berlari
D G

Ia kan kembali sesuka hati
Em A



Bridge 2:

Dia pernah datang lalu dia pergi
G Em

Dia kan kembali sesuka hati
G Em



Back to Reff.

SUPERHERO

SUPERHERO


Intro: A D 4x

#
Ini Aku Pahlawanmu
A D

Aku kan datang dari langit
A D

Ini aku superhero mu
A D

Akulah penyelamat dunia 2x
G Em


##

Lihat aku begitu gagah
A D

Kuat pemberani dan baik hati
A D


Lihat aku kau kan merasa
A D

Akulah penyelamat dunia 2x
G Em


Reff: 2x

Ketika musuh datang aku aku akan menghadang
Fmaj7 C

Dia akan kutendang lalu menghillang
Am Em

Aku menang
A

Aku menang
D


Back to ##

Reff

PESAN DARI KAWAN YANG PEDULI

PESAN DARI KAWAN YANG PEDULI

Intro: C G D/F Em

Ini pagi hari dia bangun dari tidurnya
C G
Untuk beraktivitas seperti biasa
D/F Em

Dia seorang pengajar di kampus yang tak ternama
C G
Namun ia mengabdi bak pahlawan bangsa
D/F Em


Sesampainya dikampus mahasiswa tak kuliah
C G
Mereka berdemonstrasi menuntut pemerintah
D/F Em

Sang Dosen mendekati berpesan pada anaknya
C G
Kalian boleh aksi tapi jangan Anarki
D/F Em


Bridge:

Dengarlah anak bangsa izinkan aku bicara
C G
Ini bukan nasihat apalagi pepatah
D/F Em


Bukan pula petuah tuk maksud menggurui
C G
Ini hanya sebuah pesan dari kawan yang peduli
D/F Em






Reff:

Kalian boleh Anarko tapi jangan Anarki
C G

Kalian berhak bebas tapi harus tahu batas
D/F Em


Silahkan beropini tapi mesti ada bukti
C G

Jangan hanya berteriak sementara tak mengerti
D/F Em

Back to bridge.

WILAYATUL FAQIH

WILAYATUL FAQIH:
KONSEPSI IDEAL DALAM SISTEM POLITIK IRAN
Oleh: Nofia Fitri*



“Kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan umat manusia. Karena itu Islam sebagai ajaran yang mengantar peradaban manusia kepada keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan menempatkan persoalan kepemimpinan sebagai perinsip dasar agama.”




I. Gagasan Kepemimpinan Faqih dalam Mazab Syi’ah
Banyak sekali gagasan dan konsepsi tentang tujuan Allah dibumi dan kepemimpinan masyarakat manusia yang tersebar secara luas dalam dunia Islam awal yang sangat tertata secara politis. Penaklukan yang cepat terhadap daerah-daerah yang maha luas dan berlangsungnya proses pengawasan atas penaklukan-penaklukan dan pengaturan-pengaturan urusan-urusan didaerah taklukan itu menuntut untuk tidak hanya adanya kepemimpinan yang kuat dan piawai, tetapi juga adanya suatu penciptaan suatu sistem yang dapat memberikan stabilitas dan kemakmuran. Yang paling penting bagi aktivitas sistem politik dan ekonomi ini adalah janji Islam mengenai penciptaan suatu tatanan masyarakat (pemerintahan) yang adil yang merupakan manifestasi kehendak Tuhan, dimana diyakini umat Muslim adalah terkandung dalam Al Quran dan Sunnah Nabi SAW.
Dalam konteks Syi’ah, pemerintahan adalah milik Imam, sebab dia berhak atas kepemimpinan politis dan otoritas keagamaan. Batu penjuru bagi teori Imamiyyah mengenai otoritas politis adalah keberadaan seorang Imam dari kalangan keturunan Muhammad SAW yang dengan jelas ditunjuk oleh beliau menjadi pemimpin umat Islam. Pengakuan atas otoritas Imam yang ditegakkan berdasarkan hukum itu termasuk diantara kewajiban-kewajiban keagamaan yang harus dilaksanakan oleh para pengikut Syi’ah. Imam Ali dan keturunannya adalah otoritas absah satu-satunya dikarenakan ia adalah seorang pemimpin yang suci dan penafsir otoritatif wahyu Tuhan dan karena itu memenuhi syarat untuk menegakkan negara Islam, sebagaimana juga yang menjadi ciri khas Syi’ah Imamiyyah. Dengan demikian, membangun pemerintahan Islam hanya dapat dilakukan melalui kepemimpinan seseorang yang mampu menafsirkan wahyu Tuhan dan untuk itu adalah ulama (Faqih) sebagai penuntun umat memahami hukum-hukum Tuhan.
Mahzab Syi’ah Imamiyyah menempatkan Imam sebagai penguasa temporal dan spiritual, disebut sebagai wali/naib. Setelah kegaiban panjang Imam ke Dua Belas hingga kemunculannya pada akhir zaman, para ulama merupakan penerus rangkaian kepemimpinan Islam Syi’ah. Mereka disebut sebagai wali’am sebagaimana para Imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi SAW, para ulama mengambil alih peran ini. Tepatnya mereka mewakili pelaksanaan peran ini dari Imam, yakni Imam terakhir yang sedang ghaib. Bahkan dipercaya bahwa para ulama seperti ini mendapatkan bimbingan Imam yang sedang ghaib tersebut, hanya bedanya jika para Imam ini mendapatkan kedudukannya dari Allah, para ulama ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya meliputi ‘adalah (keutamaan dalam hal iman dan ahlak yang memampukan ia menjauhkan dari dosa-dosa), faqaha (penguasa atas hukum dan fiqih Islam), dan kufa’ah (keterampilan kepemimpinan). Dengan prinsip kasih sayang Allah, manusia meyakini Allah tidak akan membiarkan suatu ummat tanpa bimbingan. Dengan kata lain Allah selalu mengirimkan utusan pada setiap umat. Jadi kesinambunagan kepemimpinan sejarah Nabi, Imam hingga mujtahid adalah suatu keniscayaan agama.

- Wasiat Imam Mahdi
Ghaibnya Imam Mahdi, diyakini akan kembali kedunia untuk membela para kaum tertindas. Sebagai Imam terakhir yang keberadaannya disembunyikan, Imam Mahdi dipercaya tetap mengiringi jalan umat manusia hingga tiba kemunculannya. Ketersembunyian itu kemudian disebut sebagai “kegahaiban Kecil” (minor occultation atau ghaibah al- shugra) yaitu ketika Imam Mahdi sembunyi di dunia fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam. Setelah para wakil Imam tersebut meninggal sampai dengan datangnya Al-Mahdi pada akhir zaman, inilah yang disebut sebagai masa ”keghaiban besar” (major occultation atau ghaibah al-kubro). Pada masa “ghaib sempurna” inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih sebagaimana dikatakan Imam Mahdi:
“Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka kembalikanlah kepada para perawi hadis kami (Fuqaha), karena mereka adalah hujjah bagiku dan akulah hujjah bagi Allah SWT.” (A. Schaedina, Kepemimpinan Islam Dalam Perspektif Syi’ah)

Dibawah ini adalah hadis yang termasyur bersumber dari Imam Jafar as-Shadiq:
“Menyangkal wewenang seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam berarti menentang wewenang Nabi SAW. Menentang wewenang Nabi SAW berarti menentang wewenang Allah SWT, menentang wewenang Allah SWT sama dengan syirik.”

Para faqih yang kemudian akan memegang kepemimpinan atas umat berdasarkan wasiat Imam, memiliki otoritas (wilayah) besar, tetapi bukan otoritas absolut (mutlak), otoritas faqih terikat pada norma-norma Islam yang dibangun atas dasar kepentingan umat. Konsep inilah yang dinamakan “Wilayatul Faqih”.
Berdasarkan pemahamam diatas, Imam Khomeini -pemimpin besar Revolusi Islam Iran, yang sekaligus menjadi wali Faqih pertama Iran- mengemukakan tentang kewajiban ditegakkannya Pemerintahan Islam dan Sistem Wilayatul Faqih adalah yang paling ideal diterapkan. Sebagaimana pandangan bahwa Faqih adalah yang paling mengerti tentang hukum-hukum Tuhan, Imam Khomeini meyakinkan Pemerintahan Tuhan adalah penegakkan hukum-hukum Tuhan dimuka bumi, dan karenanya faqih adalah yang paling ‘capable’ untuk menjalankan amanah kepemimpinan itu.
Sehubungan dengan negara sebagai instrumen bagi pelaksanaan Undang Undang Tuhan dimuka bumi dan otoritas serta kedaulatan membuat Undang Undang negara adalah ditangan Tuhan, maka negara haruslah dibangun berdasarkan hukum Tuhan. Karena itulah maka sistem politik Islam harus ditegakkan. Republik Islam Iran, menurut Khomeini dengan bentuk Republik Islam yang juga melaksanakan sistem politik berdasarkan syariah Islam, haruslah menempatkan Faqih sebagai pemimpin tertinggi negara yang berhak tidak hanya pada otoritas keagamaan tetapi juga otoritas politis.

II. Sistem Politik Wilayatul Faqih Dalam Konstitusi Republik Islam Iran
Referendum atas rumusan Konstitusi Republik Islam Iran, telah membawa Sistem Wilayatul Faqih menjadi sistem Pemerintahan Republik Islam Iran yang menempatkan Imam Khomeini sekaligus sebagai wali faqih (pemimpin tertinggi Iran) dan kaum mullah mempunyai ‘space’ sendiri dengan otoritas yang jelas dalam sistem politik Republik Islam Iran. Selanjutnya bagaimanakah Sistem Politik itu kemudian diterapkan di Iran dengan Faqih sebagai pemimpin tertinggi negara, maka analisa mendalam dilakukan pada konstitusi Republik Islam Iran.
Setelah puncak terjadinya revolusi, penataan terhadap negara dimulai dengan perubahan Sistem Politik. Pada bulan maret tahun 1979, melalui suatu plebesit nasional, sistem politik Iran dirubah dari monarki yang turun-temurun menjadi Republik Islam Iran. Pada bulan Agustus 1979, Dewan pakar yang terpilih membuat rancangan Undang-Undang baru, yang kemudian disetujui oleh plebesit lain pada bulan November 1980. Undang-Undang baru ini menggambarkan pandangan-pandangan Ayatullah Ruhullah Khomeini tentang sifat pemerintahan dan kepemimpinan dalam masyarakat muslim dan didasarkan pada kosep Wilayatul Faqih atau perwalian oleh pemimpin keagamaan tertinggi.
Untuk memahami bagaimana otoritas faqih atau dalam konsep kepemimpinan faqih sebagaimana gagasan yang dikembangkan Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang diterapkan di Iran, perlulah kita menganalisis lebih jauh struktur pemerintah Republik Islam Iran sebagaimana terkandung dalam konstitusi (UUD) Iran. Dalam kenyataannya bisa dikatakan konstitusi Iran tersebut diyakini sebagai bermuatan pemikiran Imam Khomeini, dengan dasar pertimbangan. Pertama, selain Ayatullah Khemeini sendiri, seluruh ahli yang terlibat dalam penyusunana UUD –apakah ia anggota Dewan Revolusi, Majles Konstituante, atupun anggota Dewan Permusyawaratan (Majles Syura-iIslami) yang didominasi oleh partai Republik Islam Iran (pada waktu itu), dan lain-lain sebagian besarnya, kalau tidak malah semuanya, adalah murid-murid pengikut setia Khomeini. Kedua, untuk sebagian besarnya UUD Iran tentu sejalan dengan kenyataan Khomeini sebagai pemimpin tertinggi politik dan spiritual.
Belakangan diputuskan untuk menggantikan Majlis konstituante yang besar itu dengan Dewan Ahli (Majles –I Khubregan). Para anggota terpilih dewan ini yang sedikit atau banyak tetap saja memiliki pandangan yang sejalan dengan Khomeini- melakukan penelaahan seksama serta revisi ekstensif atas draft konstitusi. Hampir tidak ada satu pasal pun yang disahkan tanpa melalui pembahasan mendalam, baik mengenai substansi, maupun redaksinya. Teks yang mendapat persetujuan akhir dari Dewan Ahli, ketika pekerjaan selesai pada November 1979, sangat berbeda dengan draftnya, baik alam segi jumlah pasal, struktur maupun isinya. Menurut Hamid Algar, “perbedaan tunggal yang sangat penting adalah masuknya kedalam konstitusi itu konsep utama wilayah al-faqih (pemerintahan faqih)”.
Doktrin ini seperti yang diuraikan panjang lebar oleh Imam Khomeini pada kuliah-kuliahnya yang termasyur di Najaf pada 1969:
“Sesuai dengan prinsip-prinsip kepemimpinan (wilayah al-amr) dan kebutuhan abadi akan kepemimpinan (Imamah), konstitusi memperlengkapi kekuasaan kepemimpinan dengan seorang faqih yang memiliki kualifikasi penting (jami al-shara’it) dan dikenal sebagai pemimpin oleh rakyat yang sesuai dengan hadis “pemimpin urusan (umum) ada ditangan mereka yang percaya pada Allah dan dapat dipercaya dalam berbagai hal mengenai yang diizinkan dan dilarang oleh-nya. Kepemimpinan demikian akan mencegah berbagai penyimpangan dari kewajiban Islami mereka yang pokok oleh pelbagai aparat Negara”.

Kutipan diatas adalah cuplikan bagian awal dari konstitusi Iran yang menempatkan gagasan utama mengenai Wilayatul Faqih. Dalam hal ini menegaskan Iran dengan Sitem politik Islam yang menempatkan faqih sebagai penerus kepemimpinan Imamah sebagaimana dalam doktrin Syi’ah, telah terlegitimasi secara politik atas kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi umat.
Penekanan ini dikarenakan fungsi pemimpin sebagai pemegang kekuasaan, maka kekuasaannya haruslah ditempatkan sebagai tertinggi dalam konteks bernegara, dan berkenaan dengan fungsi sebagai pengarah aktifitas untuk tujuan tertentu. Kemudian ditegaskan dalam pasal 5 UUD Republik Islam Iran yang berbunyi:
“Selama ketidakhadiran Imam ke Dua Belas, dalam Republik Islam Iran, kepemimpinan urusan-urusan dan pimpinan umat merupakan tanggung jawab seorang faqih (ahli hukum Islam) yang adil dan Taqwa, mengerti zaman, pemberani, giat, dan berinisiatif yang dikenal dan diterima mayoritas umat sebagai Imam pemimpin mereka”.

Yang dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah Faqih dengan mengacu kepada fungsi Imam sebagaimana dalam Syi’ah, yaitu wakil Imam Mahdi, yang memperoleh legitimasi politik dan agama, dikarenkan wilayah (otoritas) yang dimilikinya. Yang digambarkan tersebut adalah seorang Wali Faqih atau Rahbar sebagai pemimpin tertinggi Iran (Ali Khamenei saat ini). Dan dijelaskan kemudian jika tidak ada seorang faqih yang memenuhi keseluruhan persyaratan tersebut, konstitusi Iran mengatur:
“Apabila faqih seperti itu tidak dipunyai mayoritas sifat semacam itu, maka suatu Dewan pimpinan yang terdiri dari para fuqaha memenuhi syarat-syarat tersebut diatas, maka akan memegang tanggung jawab itu’.Yang dimaksudkan dengan Dewan tersebut adalah Dewan Ahli yang bertugas memilih wali faqih, dimana mereka dipilih langsung oleh rakyat.

Pasal 7 Republik Islam Iran kemudian lebih mempertegas, bahwa faqih yang akan memenuhi tugas tersebut, ditunjuk Dewan Ahli, dimana mereka terdiri dari tiga atau lima marja yang memilki persyaratan untuk membentuk Dewan Faqih. Wali Faqih tersebut antara lain memiliki kekuasaan untuk mengangkat otoritas yudisial tertinggi dan panglima angkatan bersenjata, kekuasaan untuk memobilisasi angkatan bersenjata, dan kekuasaan untuk memecat presiden.
Pada pasal 1, mengenai bentuk Republik Islam, terlihat adalah upaya modifikasi sebuah sistem politik Islam dengan yang sangat bernilai demokrasi, karena penekanan Republik adalah kekuasaan rakyat. Sesungguhnya Republik Islam Iran (RII) memang dirancang untuk menerapkan unsur-unsur asasi sebuah sistem demokratis. Yang terpenting diantaranya RII menerapkan sistem pemilu untuk membentuk tak kurang dari tiga lembaga tertingginya. Pertama, pemilu membentuk Dewan Ahli (majles –I Khubregan). Kedua, dalam sistem RII pemilu juga dilaksanakan untuk memilih para anggota parlemen, yakni Dewan Permusyawaratan Islam (Majles Syura –yi Islami) sebagai lembaga tertinggi negara yang dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu pemilu berdasarkan sistem distrik. (Bahkan, meskipun RII menganut sistem presidensial, pemilihan menteri-menteri sebagai pembantu presiden harus mendapatkan approval dari parlemen) Ketiga, pemilu untuk memilih presiden secara langsung. Diluar itu, konstitusi RII juga mewajibkan pemungutan suara secara langsung oleh rakyat -referendum- dalam penetapan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, dan sosial budaya yang amat penting.
Seperti diketahui, dalam sistem Republik yang didalamnya parlemen beranggotakan orang-orang yang dipilih oleh rakyat, lembaga ini adalah lembaga legislatif tertinggi negara yang tidak bertanggung jawab terhadap siapapun kecuali rakyat. Dengan kata lain, lembaga ini bebas membuat legislasi dan hanya terikat pada aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh. Sementara, menurut penafsiran para pemimpin revolusi Iran, sumber legislasi adalah syaria. Legislasi extra-syariah, kalaupun diterima, harus merupakan turunan atau pengembangan dari syariah, atau setidaknya tidak bertentangan dengan syariah tersebut.
Terdapat persoalan dalam hal ini, bagaimana agar legislasi extra-syariah ini tidak bertentangan dengan syariah. Caranya adalah dengan memperkenalkan suatu konsep yang disebut Dewan Ahli (The Council of Guardianship) yang di Iran disebut Shuraye Negahban. Artinya perundang-undangan yang sudah disetujui oleh Parlemen baru menjadi sah hanya dengan persetujuan Dewan Ahli ini -yakni enam orang faqih-dipilih oleh Wali Faqih. Setengah anggota yang lain meliputi enam ahli dibidang hukum (non-keagamaam) yang dipilih oleh parlemen. Penentuan apakah suatu perundang-undangan yang telah disahkan oleh parlemen sesuai dengan peraturan Islam atau tidak, memerlukan suara mayoritas dari semua anggota Dewan Ahli.
Presiden sendiri bertanggung jawab kepada rakyat karena dipilih oleh rakyat, melalui parlemen yang juga dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, menurut pemahaman Bapak Revolusi Islam Iran, didalam sistem kepemimpinan Islam wewenang parlemen untuk meminta pertanggungjawaban presiden bukan tidak terbatas. Pada akhirnya Parlemen harus bertanggungjawab kepada Imam, atau Wali Faqih. (pasal IX, ayat 122 UUD Republik Islam Iran), melalui Dewan Wali meng-approve atau tidak meng-approve calon presiden, ia sekaligus berwenang untuk memecat presiden dalam hal presiden dianggap tidak capable, setelah mendapatkan rekomendasi mahkamah Agung. Kekuasaan Wali Faqih seperti ini pernah diterapkan oleh Ayatullah Khomeini ketika ia memecat Abol Hasan Bani Sadr, presiden Iran pertama pasca revolusi Islam.
Dalam gambaran proses diatas, Iran tampak sekali mewakili bentuk pemikiran tertentu dalam Islam yang menganggap negara didalam Islam sebagai ditujukan untuk mencapai sasaran-sasaran yang tak semata-mata bersifat duniawi (materialistik) Meskipun demikian, dalam prakteknya hal itu tampaknya tidak hendak dicapai lewat sesuatu yang dalam kosakata politik disebut sebagai ‘teokrasi’, melainkan lewat suatu mekanisme semacam nomo-demokrasi gabungan antara sistem berdasarkan nomokrasi atau kekuasaan berbasis kedaulatan hukum demokrasi) Atau sebut saja ‘Teo-Demokrasi. Sebagaimana pemahaman Al Maududi tentang bentuk pemerintahan Islam, sebuah sistem politik yang menggabungkan pemerintahan oleh hukum Tuhan atau syariah dengan demokrasi yang mengandalkan partisipasi masyarakat atau orang banyak.
Kemudian menganalisa bagaimana sistem yang sepintas bertentangan tersebut lantas dapat bertemu, yaitu sistem yang teokratis dengan demokratis, dimana Pemerintahan syariah didasarkan atas kemutlakan wahyu, sementara demokrasi berdasar pada relatifitas manusia. Dalam hal ini terdapat argumen bahwa Islam dengan tegas menolak teokrasi, jika sistem ini dipahami sebagai kekuasaan oleh orang-orang atau suatu kelompok yang mengklaim sebagai wakil atau suara Tuhan yang mutlak (absolute) yang bebas dari kesalahan dan yang sabdanya berarti hukum yang tidak bisa ditawar dengan cara apapun. Pada puncaknya sistem teokrasi Islam bukanlah berlandaskan pada seseorang, melainkan pada hukum. Penguasa meskipun ia seorang ahli hukum (faqih) tertinggi, bukanlah wakil atau suara Tuhan. Ia dipilih berdasarkan kualifikasi-kualifikasi tertentu yang sedikit-banyak bersifat relatif. Ia tidak lah bebas dari kesalahan. Seorang faqih bisa saja salah, dan keputusannya bisa saja dipersalahkan meskipun hanya oleh institusi lain yang diakui oleh konstitusi.
Dalam konstitusi RII, secara eksplisit, Wali Faqih adalah setara dengan seluruh warga Negara dimata hukum (pasal VIII, ayat 107) Lebih dari itu, Wali Faqih atau Dewan faqih diangkat dan bisa diberhentikan oleh Dewan Ahli yang notabene-nya dipilih oleh rakyat (ayat 111). Yang kedua, bagi orang beriman, pendangan dikotomis seperti ini sulit diterima. Bagi mereka, segala yang datang dari Tuhan adalah sesuai dengan fitrah (kecendrungan asasi) manusia. Artinya, mesti tidak berbenturan dengan pemikiran manusia. Meninjau peristilahan teologi, wahyu yang qath’I (valid) tidak mungkin bertentangan dengan hasil penalaran (akal) yang valid pula. Dalam hal inilah teologi politik Syi’ah menekankan rasionalitasnya, hingga teologi Syiah tergolong dalam teologi kritis yang menentang teologi taradisional. Bagi setiap Muslim yang rasional, apa yang dikatakan sebagai sesuatu yang baik oleh Tuhan pasti baik menurut akal; sedangkan yang dikatakan buruk oleh Tuhan pasti buruk pula menurut akal. Karena itulah revolusi Islam Iran –salah satu motor penggeraknya, adalah teologi politik Syi’ah yang menekankan rasionalitas dan daya nalar. Demikian pula sebaliknya, keberadaan syariah yang bersifat keilahian dan pengakuan atas wewenang para fuqaha untuk menerapkannya diperlukan mengingat pada kenyataannya -kehendak rakyat –meskipun kesepakatan orang banyak dipujikan tidak bisa dijamin bebas dari kesalahan.


III. Sistem Kepemimpinan Wilayatul Faqih dan Aspek Demokrasi
Konsep Wilayatul Faqih, telah menjadi tema sentral dalam perbincangan wacana politik didunia saat ini. Gagasan dan model Sistem Pemerintahan yang diperkenalkan Imam Khomeini ini telah mencengangkan para pakar teori politik, karena konsep Wilayatul Faqih telah berhasil memadukan antara peran Tuhan dan peran rakyat dalam sebuah pranata sosial yang jauh dari paradoks-paradoks yang terdapat dalam demokrasi.
Bagi banyak kalangan sekuler, pemerintahan agama dianggap otokratik, hingga sama sekali jauh dari demokrasi, padahal sesungguhnya jika penelitian lebih dalam dilakukan, maka pemahaman tentang agama (Islam) itu sendiri adalah demokrasi yang sebenarnya.
Pada prinsipnya, dalam ajaran-ajaran Islam, rakyat diseru untuk ikut serta dalam menentukan nasib mereka sendiri. Agama ini mendorong rakyat untuk bermusyawarah dalam setiap urusan penting dan menyatakan pendapat serta keyakinan mereka. Islam pun memandang pendapat dan suara rakyat sebagai sesuatu yang penting. Didalam Al-Quran, Allah SWT meminta kepada Nabi-Nya agar bermusyawarah dengan rakyat, dan didalam surat Asy-Syura disebutkan bahwa salah satu sifat mukminin ialah bermusyawarah dan mencari kesepakatan dalam tiap urusan mereka.
Diantara ajaran Islam untuk melibatkan rakyat dalam menentukan nasib sendiri ialah mendorong mereka untuk melaksanakan ‘amar maruf nahi munkar’. Dalam arti bahwa Allah SWT meminta kepada muslimin untuk mengabaikan apa saja yang berlaku disekitarnya, dan hendaknya mereka menunjukkan sensitifitas terhadap kesalahan dan kejahatan yang mereka lihat.
Islam mengakui kebebasan manusia. Para tokoh agama berkali-kali menekankan kemerdekaan manusia dan bahwa manusia diciptakan dalam kebebasan. Islam juga memperkenalkan kebebasan sebagai hak alami setiap manusia. Oleh karena itu, dalam Islam, penerimaan agama dengan terpaksa, tidak dapat dibenarkan, dan setiap orang bebas dalam memilih jalan hidupnya. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan kebebasan yang diarahkan sedemikian rupa, sehingga ia tidak akan disalahgunakan, dan jangan sampai menjadi pencegah perkembangan dan kesempurnaan materi dan maknawi manusia. Dengan kata lain, kebebasan dan kedaulatan rakyat didalam sistem pemerintahan Islam berada didalam kerangka Undang Undang dan nilai agama, dan didefinisikan dalam bingkai sistem agama dan kehendak rakyat.
Pada konsep Wilayatul Faqih, sebagaimana pandangan Imam Khomeini, banyak yang mengira sikap Imam Khomeini yang seolah-olah mendua (ambivalensi). Disatu sisi beliau menegakkan Wilayatul Faqih sebagai institusi yang berasaskan legitimasi Ilahiyyah (Divine Legitimacy) yang menolak asas demokrasi, namun disisi lain beliau terkesan mendukung asas demokrasi. Terbukti dengan referendum yang dilakukan di Iran dalam penentuan bentuk negara, hingga penerimaaan akan konstitusi baru. Jelas dalam hal ini, dengan pilihannya sendiri rakyat menghendaki manajemen Islam untuk berkuasa atas nasib mereka.
Kembali pada konsep Wilayatul Faqih, kiranya konstitusi Iran menjelaskan tentang Wali Faqih yang diangkat oleh Dewan khusus (Dewan Ahli), dimana anggota Dewan Ahli itu sendiri adalah dipilih langsung oleh rakyat. Lalu mengapa bukan rakyat yang memilih langsung wali faqih tersebut, karena para pendiri Republik Islam itu percaya jabatan pemimpin spiritual adalah jabatan terspesialisasi yang membutuhkan kualifikasi tertentu antara lain penguasaan atas syariah. Karena itu yang memilih mereka, juga harus orang-orang yang memilki kualifikasi atau spesialisasi yang sama, yaitu kaum ulama.
Mengenai Wali Faqih sendiri, meski mempunyai wewenang menunjuk sebagian anggota Dewan Wali (Syura –e Negahban), yang berfungsi memastikan bahwa Undang Undang yang dihasilkan parlemen tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar, -lagi lagi suatu praktek yang lazim dinegara modern- Wali faqih tidak terlibat penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Fungsinya lebih banyak sebagai pembimbing spiritual atau semacam Ketua Mahkamah Agung. Sekalipun wali faqih memilki kekuasaan spiritual yang besar, ia sama sekali jauh dari kesan sebagai pemimpin negara yang tertutup dari sifat demokratis seperti pandangan beberapa pihak. Karena republik itu sendiri diselenggarakan dengan didasarkan sebuah konstitusi atau Undang Undang Dasar dan berbagai perangkat politis serta hukum dan perudang-undangan yang mengikutinya.
Perlu diingat Republik Islam Iran dengan sistem Wilayatul Faqih-nya, secara eksplisit menganut sistem Republik yang bukan saja merupakan konsep Trias Politika secara penuh dan modern –pemisahan tegas lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif- tetapi juga mengandalkan sistem pemilu terbuka guna memilih pemimpin mereka. Seperti diketahui di Republik Islam Iran, sedikitnya terdapat tiga pemilu yang diselenggarakan langsung yakni memilih anggota parlemen, presiden, dan Dewan Ahli yang nantinya akan mengangkat Rahbar.
Ayatullah Uzma Sayid Ali Khamenei dalam mendefinisikan demokrasi agama, ia berkata "Demokrasi agama artinya suara rakyat yang dipandang dari sudut logika agama, dengan penghormatan yang diberikan oleh agama terhadap suara rakyat dan kemuliaan manusia. Agama memberikan tanggungjawab yang serius kepada setiap pemerintahan terhadap rakyat. Agama tidak menerima kediktatoran dan keotoriteran dari penguasa mana pun dalam bentuk apa pun”.
Dalam berbagai pesan yang beliau sampaikan, beliau menekankan bahwa demokrasi agama tidak sama dengan demokrasi Barat yang diberi warna Islam. Akan tetapi demokrasi agama lahir dari hakekat agama serta berdasarkan nilai-nilai ajarannya. Dalam pandangan pemerintah dan media massa Barat, satu-satunya jalan penegakkan kedaulatan rakyat ialah demokrasi Barat. Akan tetapi bertentangan dengan pandangan mereka itu, realisasi kedaulatan rakyat dapat dilakukan dalam berbagai cara, dimana demokrasi agama adalah cara yang paling tepat untuk itu.
Pada akhirnya, jika dilakukan analisa lebih jauh terhadap konsep Wilayatul Faqih dengan melakukan analisa terhadap bagaimana bentuk kepemimpinan faqih terdapat nilai-nilai demokrasi. Sebagaimana analisa penulis pada konstitusi Republik Islam Iran, yang mencirikan nilai-nilai demokrasi atau mendekati kepada bentuk teo-demokrasi, maka terlihat bahwa sesungguhnya demokrasi itu sendiri adalah ciri dari Sistem Wilayatul Faqih, dan dalam hal ini penulis setuju untuk mengatakan bahwa demokrasi sesungguhnya terdapat dalam Islam.

IV. Periode Kepemimpinan Faqih Republik Islam Iran
1. Kewalifaqihan Imam Khomeini
Munculnya Ayatullah Ruhullah Khomeini sebagai penggerak revolusi di Iran, kemudian mengantarkannya sebagai Bapak Revolusi Islam Iran dan “The Founding Father” dari Republik Islam Iran. Dalam kepercayaan Syi’ah mengenai wakil dari ghaibnya imam Mahdi, Khomeini kemudian memperoleh gelar keimamannya sebagai pemimpin tertinggi umat Syi’ah, sekaligus setelah pengesahan konstitusi secara aklamasi rakyat mengangkatnya sebagai wali faqih pertama Republik Islam Iran.
Posisi Imam Khomeini, saat itu memang karena ialah yang memimpin terjadinya Revolusi Islam Iran dan karena, segala kualitas seorang faqih telah ada dalam dirinya, dan tidak perlu dipertanyakan kembali, serta kecintaan rakyat akan pemimpin ini yang menyatakannya pada posisi wali faqih pertama Iran. Konstitusi kemudian mengatur bagaimana kemudian pengangkatan wali faqih selanjutnya.
Periode awal kekhalifahan Imam Khomeini, dimulai dengan pengangkatan Dr. Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri sementara Iran, sebelum kembalinya Imam dari pengasingannya di Perancis. Pemilu pertama yang diselenggarakan Iran menjadikan Abolhasan Bani Sadr sebagai presiden pertama Republik Islam Iran. Otoritas Khomeini pula yang kemudian memecat Bani Sadr dari jabatannya, karena ia dianggap berkoalisi dengan kelompok aliran kiri yang telah dilarang Khomeini. Jatuhnya pemerintahan Bani Sadr memaksa Perdana Menterinya M. Ali Rajae menggantikan posisi presiden, hingga kemudian ia tewas dalam pengeboman bersama dengan Perdana Menteri Javad Bahonar dan Ayatullah Bahesti yang saat itu adalah sekjen Partai Republik Islam.
Mengenai wali faqih, Imam Khomeini mengatakan:
“Wali Faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme, pengetahuan, dan kompetensi yang telah disetujui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur mana yang memenuhi kriteria semacam itu. Rakyat sendirilah, sekali lagi harus mengelola urusan-urusan administratif dan bidang-bidang kerja serta urusan-urusan lain dalam pemerintahan mereka, rakyat berhak memilih sendiri presiden mereka, dan memang sudah semestinya demikian. Sesuai dengan hak asasi manusia, anda semua, rakyat harus menentukan nasib anda sendiri. Majelis (Parlemen Iran) menempati posisi tertinggi di atas semua institusi yang lain, dan Majelis ini tidak lain merupakan pelembagaan kehendak rakyat.”

2. Kewalifaqihan Ayatullah Ali Khamenei
Setelah hampir dua minggu dirawat di rumah sakit, 4 Juni 1989, Pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Imam Khomeini, berpulang kerahmatullah. Pemerintah Teheran segera mengumumkan hari berkabung nasional selama 40 hari, selama 5 hari semua aktivitas ekonomi dan pemerintahan dihentikan guna menghormati kepergian Imam Khomeini. Bahkan beberapa negara sahabat Iran juga mengumumkan hari berkabung nasional, diantaranya Pakistan (selama 10 hari) dan Suriah (7 hari) serta pemerintahan golongan Islam di Libanon yang dipimpin PM Salim El-Hoss (3 hari). Begitu pula umat Islam di India dan Muangthai.
Bahwa suasana berkabung juga dirasakan oleh masyrakat Islam diluar Iran, sebenarnya menunjukkan bagaimana besarnya pengaruh Imam Khomeini di dunia Islam. Memang, Imam Khomeini tidak hanya dianggap sebagai keberhasilan kaum revolusioner Islam Iran dalam meruntuhkan rezim Dinasti Pahlevi dukungan Amerika, tetapi juga dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap westernisasi dan easternisasi. Sistem Republik Islam yang ditegakkan 10 tahun silam, barangkali mencerminkan ketegasan sikapnya yang paling mendasar, bahwa ada alternatif ketiga selain kapitalisme dan komunisme. Laa Syarqiyyah, Laa Gharbiyyah, Jumhuriyyah Islamiyyah (tidak Timur, tidak Barat, tapi Republik Islam). Begitulah semboyan almarhum yang sangat terkenal.
Petanyaan yang kemudian akan muncul adalah, bagaimana Iran sepeninggal Imam Khomeini, dan terutama siapa yang akan memimpin Iran pasca Imam Khomeini. Adalah Ayatullah Al Uzhma Sayyid Ali Huseni Khamenei, yang saat itu menjabat sebagai presiden Iran, dipilih oleh Dewan Ahli sebagai pengganti Imam Khomeini, 5 Juni 1989.
Tak bisa dipungkiri oleh siapa pun bahwa Imam Khomeini merupakan pemimpin Besar Revolusi Islam Iran dan Bapak Pendiri Republik Islam Iran. Dialah tokoh yang selam satu dasawarsa terakhir menjadi sentral dari dinamika politik Iran, dan tokoh yang –antar lain melalui pemikiran-pemikirannya –akan tetap mempunyai pengaruh besar dimasa-masa mendatang. Sekali pun demikian, seperti diketahui, wafatnya Imam Khomeini ternyata tidak menimbulkan gejolak sebagaimana diramalkan banyak analisis politik sebelumnya. Bahkan pemilihan Ayatullah Ali Khamenei sebagai pengganti Imam Khomeini, yang dilakukan oleh Dewan Ahli (majlis –e Khobregan) hanya 20 jam setelah Imam wafat, berjalan dengan sangat lancar.
Sebagaimana para mullah lainnya yang saat ini memegang jabatan penting, Ali Khamenei mencapai puncak karir politiknya karena dua hal. Pertama, karena perjuangannya dalam menentang rezim Shah, dan kedua, karena hubungannya yang dekat dengan Khomeini.
Khemenei, yang bernama lengkap : Hojjat ul-Seyyed Ali Hussein Khamenei, lahir di Marsyhad Iran Utara pada tahun 1939 dan berasal dari keluarga taat beragama. Ia belajar agama di Najaf Pusat Syi’ah di Irak pada tahun 1952. Enam tahun kemudian menjadi salah seorang murid Khomeini dikota Qum. Antara tahun 1964-1978, enam kali Khamenei masuk penjara karena menentang Shah.
Karier politik Khamenei mulai melaju setapak demi setapak, setelah runtuhnya kekuasaan Shah. Sebelum terpilih sebagai presiden Iran ke-3 (2 Oktober 1981) menggantikan Bani Sadr yang tersingkir (Juni 1989) dan Ali Rajae yang terbunuh (Agustus 1981). Khamenei pernah menduduki sejumlah posisi penting. Diantaranya, adalah sebagai deputi menhakam, komandan Pasdaran, Wakil Khomeini dalam Dewan Pertahanan Tertinggi dan Imam Jum’at di Teheran. Tetapi nama Khamenei sendiri baru ‘diperhitungkan’ setelah tewasnya Ayatullah Mohammad Bahesti, tokoh mullah yang paling berjasa dalam menyapu bersiih golongan nasionalis dari percaturan politik post-revolusi.
Sesuai dengan konstitusi Ali Khamenei memenuhi syarat sebagai Rahbar menggantikan Imam Khomeini dengan kualifikasi adil, shaleh, yang sepenuhnya menyadari situasi dan kondisi zamannya, berani, cerdik, memiliki kemampuan administratif. Awal periode kewalifaqihan Khamenei setelah pengangkatannya sebagai pemimpin tertinggi Republik Islam Iran. Bersamaan dengan itu pula pemilihan presiden 28 Juli 1989 yang kelima kalinya sejak berakhirnya sistem monarkhi pada 1979 yang diadakannya bersamaan dengan referendum amandemen konstitusi Republik Islam Iran, yang memunculkan Rafsanjani sebagai presiden Iran dengan sebuah kekuasaan baru, kekuasaan eksekutif yang lebih riil, berkaitan dengan dihapuskannya kedudukan perdana menteri.
Rakyat Iran sangat patuh pada fatwa dan pendapat yang dikeluarkan oleh Ayatullah Khamenei. Dan diantara ungkapan ungkapan ia sering menegaskan bahwa bangsa Iran tidak akan bersedia menerima kezaliman dari siapa pun dan dari kekuatan manapun didunia ini. Ia menambahkan, umat Islam tidak akan menzalimi siapapun dan tidak akan merampas hak-hak bangsa manapun di dunia ini. Akan tetapi jika negara-negara super power, sebagaimana kebiasaan mereka, ingin merampas hak-hak bangsa Iran, maka kami akan menerimanya.
Ayatullah Khamenei sering menegaskan bangsa Iran yang besar bukanlah bangsa yang menyerah pasrah menerima penindasan, akan tetapi ia akan bangkit menghadapi kezaliman dan tidak bersedia menerima penindasan negara lain. Dan musuh-musuh bangsa dan pemerintahan Islam Iran, yang merupakan pemerintahan yang berdiri diatas keyakinan dan ideologi rakyatnya, selama dua puluh tahun lebih dari sejak kemenangan revolusi Islam ini, baik diluar maupun didalam, namun hingga kini mereka tidak pernah berhasil. Ia selalu menegaskan bahwa bagi para pengumpul kekuasaan dan kekayaan duniawi, tak secuil pun dari hak asasi manusia dan khormatan memiliki arti, dan mengatakan bahwa para penguasa zalim ini tidak akan lagi dapat berbuat banyak terhadap Iran, karena saat ini Iran sudah semakin kuat, semakin besar dan semakin meningkatkan peran aktifnya dalam percaturan dunia internasional.

*Penulis adalah Alumni Ilmu Politik sekaligus Pendiri KELOMPOK STUDI MAHASISWA UNIVERSITAS ”PERJUANGAN’ NASIONAL. Aktif sebagai PENELITI MUDA PESANTREN ILMU KEMANUSIAAN DAN KENEGARAAN (PeKiK) INDONESIA, dan Dewan Eksekutif NURCHOLIS MADJID SOCIETY (NCMS).

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KOSTITUSI

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KOSTITUSI:
SEBUAH KEWENANGAN
ANTARA PRINSIP DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh: NOFIA FITRI

“Manusia, pada hakekatnya bebas, sama dan independen. Tak seorang pun dapat dikeluarkan dari keadaan ini dan tunduk kepada kekuasaan politik dari orang lain tanpa persetujuannya. Satu-satunya cara, seseorang menyerahkan kebebasan alamiahnya dalam persekutuan masyarakat/warga negara adalah bersepakat dengan orang lain untuk bergabung dan bersatu dalam suatu komunitas. Tujuannya, demi penghidupan yang nyaman, aman dan berdamai satu dengan lainnya. Serta dalam suasana yang nikmat, aman atas harta miliknya.”
(John Locke )


A. Pendahuluan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pembukaannya mengandung empat pokok pikiran, yaitu: Pertama, bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; Kedua, bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya; Ketiga, bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat yang disebut sebagai sistem demokrasi; dan Keempat, bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pokok pikiran bahwa negara melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan, ditafsirkan konstitusi salah satunya dalam bentuk perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (Hak Asasi Manusia/HAM). HAM dalam Undang Undang Dasar telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat. Dalam perumusan Undang Undang Dasar, materi tentang HAM yang kemudian diadopsikan dalam batang tubuhnya mencakup 27 materi, seperti yang dipaparkan Jimly Asiddiqie berikut ini:
1. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2. Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
3. Hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
4. Hak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut;
5. Hak bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;
6. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;
7. Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat;
8. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi unutk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia;
9. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak sesuatu yang merupakan hak asasi;
10. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia, dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain;
11. Hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;


12. Hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
13. Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
14. Hak mempunyai hak milik pribadi, dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun;
15. Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
16. Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
17. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
18. Hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
19. Hak atas status kewarganegaraan;
20. Hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi, berikut hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut;
21. Hak masyarakat tradisional yang selaras dengan perkembangan zaman, dan tingkat peradaban bangsa;
22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya;
23. Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah;
24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak-hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan;
25. Untuk menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut, dibentuk komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independent menurut ketentuan yang diatur dengan Undang Undang;
26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.



Penegasan atas pengakuan dan pemberian hak-hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi dasar suatu negara, adalah salah satu ciri pokok negara demokrasi yang berlandaskan hukum. Jika demikian, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan 27 materi bermuatan HAM sebagaimana diatas, berarti telah mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi, dan menjunjung tinggi hukum. Kemudian dalam Undang Undang Dasar tersebut juga dipertegas bahwa perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia oleh negara yang kemudian direalisasikan dengan pemberian hak-hak asasinya, juga tidak lepas dari perlindungan atas paham yang diyakini, baik oleh perorangan, ataupun golongan. Ungkapan tersebut berarti memberi ruang kepada segala bentuk paham untuk dianut, dan tidak mendapat pelarangan oleh negara, namun tentunya dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah ada dalam hukum yang diterapkan di Indonesia.
Kemudian Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai konstitusi dasar menegaskan tentang sistem demokrasi dan landasan negara hukum yang melekat bagi bangsa Indonesia. Konsepsi demokrasi dan negara hukum dalam harapan bangsa Indonesia akan tercapai dengan terlebih dahulu memberikan keadilan yang menyeluruh kapada setiap warga negara.
Makna demokrasi yang terkandung dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah bahwa penyelenggaraan negara berada dibawah kendali rakyat, atau menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Konsep kedaulatan berada ditangan rakyat idealnya menempatkan rakyat sebagai
pemilik kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tanpa kecuali, sebagaimana dalam penjelasan Frans-Magnis Suseno. Kemudian menurut Frans Magnis, negara dikatakan berkedaulatan rakyat apabila rakyat berperan serta langsung maupun tidak langsung dalam menentukan nasib dan masa depan negara.
Terakhir, pokok pemikiran yang terkandung dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bahwa negara Indonesia adalah adalah negara yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut digambarkan Jimly sebagai hubungan antara negara dan agama, dimana hal itu terjadi ketika umat manusia mengidealkan cita kedaulatan Tuhan dalam konteks kenegaraan. Menurutnya, dalam sejarah ketatanegaraan dimasa lalu memperlihatkan bahwa umat manusia tidak pernah berhenti memikirkan hubungan antara prinsip ke-Tuhanan dengan persoalan kenegaraan. Perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan konsekuensi logis dari tingginya kualitas ketakwaan masyarakat. Karena keyakinannya atas Tuhan yang Esa adalah ‘yang adil’, dan keadilan akan terwujud dalam masyarakat yang beradab.
Dengan demikian, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengandung serangkaian cita-cita bangsa yang menginginkan Negara Indonesia berdiri sebagai negara hukum, yang demokratis, dengan memenuhi segala hak-hak asasi segenap rakyatnya. Cita-cita ideal negara hukum dan negara demokratis yang sinergis dengan penegakan hak asasi manusia, tidak hanya menjadi harapan bangsa Indonesia, melainkan telah lama diimpikan banyak bangsa di dunia.

Konsep negara hukum dan negara demokrasi lahir sebagai dua sisi yang berdampingan menyusul zaman renaissance di Eropa. Cita-cita ideal perwujudan suatu negara hukum dan negara demokratis telah membawa prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam bentuk organ-organ tersendiri, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, seperti yang dipaparkan Montesquieu. Montesquieu memodifikasi model
pemisahan kekuasaan tersebut dari pemikiran John Locke. Pembagian/atau pemisahan kekuasaan tersebut yang kemudian dikenal sebagai ‘Trias Politika’. Trias Politika dimaksudkan untuk mendobrak kekuasaan tirani atau sistem pemerintahan yang otoriter, dimana pemisahan kekuasaan negara nantinya akan berguna untuk mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga.
Menurut konsep Trias Politika, kekuasaan legislatif (rulemaking function) dalam merumuskan Undang Undang tidak bisa dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun karena pada hakekatnya kekuasaan legislatif adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara yang oleh Montesquieu disebut “Dewan Rakyat”. Sedangkan eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaan undang undang tersebut. Dalam pelaksanaannya, Undang Undang yang telah digariskan legislatif bersifat mengikat kekuasan eksekutif atau pemerintah.
Kekuasaan eksekutif dan legislatif yang saling berhubungan tersebut, perlu dikontrol agar tidak terjadi proses instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasan. Kekuasaan melakukan kontrol ini yang dilakukan lembaga
yudikatif/kekuasaan yudikatif. Lembaga yudikatif memiliki wewenang judicial, yaitu wewenang kehakiman, baik dilapangan hukum publik (pidana, administrasi negara), dan dilapangan hukum privat (perdata, niaga), baik dikalangan sipil maupun militer. Menurut konsep trias politika, lembaga yudikatif memegang peranan penting dalam menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan demikian, pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep trias politika yang menempatkan lembaga peradilan/yudikatif, adalah salah satu indikator penting penyelenggaraan “negara hukum” dan realisasi dari prinsip demokrasi. Kekuasan yudikatif sendiri haruslah kekuasaan yang mandiri dan bebas dari intervensi pihak manapun. Hal ini dimaksudkan agar badan hukum dapat berfungsi secara wajarnya demi penegakkan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif itulah dapat diharapkan bahwa keputusan yang diambil oleh lembaga yudikatif dalam suatu perkara tidak akan memihak dan berat sebelah, semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan kedilan serta hati nurani hakim itu sendiri dengan ketidaktakutan akan ancaman terhadap kedudukannya.
Di Indonesia sendiri, kekuasan kehakiman sudah mulai ada sejak kemerdekaan. Asas kebebasan lembaga yudikatif (independent judiciary) dikenal di Indonesia sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945 pasal (24) dan (25) (sebelum amandemen) mengenai kekuasaan kehakiman yang menyatakan, “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang undang tentang kedudukan para hakim”.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, kekuasan Yudikatif yang dipegang Mahkamah Agung (sebelum amandemen) mengalami perubahan, dengan munculnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi bukan dalam porsi menempati kewenangan Mahkamah Agung, melainkan berdiri sendiri sebagai kekuasaan yudikatif yang dalam kerjanya memiliki kewenangan berbeda dengan Mahkamah Agung, yang juga sebagai kekuasaan yudikatif. Maksud dari lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdampingan dengan Mahkamah Agung adalah untuk menciptakan sistem check and balances, berkaitan dengan penghapusan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara sebelum dilakukan amandemen Undang Undang Dasar. Amandemen Undang Undang Dasar memberikan kekuasaan tertinggi pada rakyat melalui Konstitusi tersebut. Dengan demikian Undang Undang Dasar menjelma menjadi keinginan rakyat, dan karenanya agar Undang Undang Dasar terus menjadi pegangan dasar dalam proses bernegara diperlukan institusi sendiri untuk menjalankan tugas ‘menjaga konstitusi’ (yang dalam hal ini adalah Undang Undang Dasar).

B. Kelahiran Mahkamah Konstitusi Dan Kewenangannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
1. Mahkamah Konstusi Di Dunia
Secara umum, keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam sistem ketatanegaraan di dunia. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk Mahkamah ini secara tersendiri, dimana Indonesia adalah negara ke-78 tersebut, sekaligus yang pertama diabad 21 ini. Namun bagi negara-negara yang baru mengalami atau dalam masa transisi menuju demorasi, keberadaan Mahkamah Konstiutusi menjadi penting, sehingga negara-negara tersebut merasa perlu akan keberadaannya.
Fungsi kelembagaan Mahkamah Konstitusi di negara dengan demokrasi yang sudah mapan biasanya tercakup dalam fungsi Supreme Court, seperti di Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji konstitusionalitas suatu Undang Undang, baik dalam arti pengujian materil, dikaitkan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung (Supreme Court). Negara-negara yang kemudian merasa perlu adanya lembaga Mahkamah Konstitusi, misalnya Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Lithuania, Ceko, dll. Namun dalam prakteknya tentu tidak semua negara membentuk jenis Mahkamah Konstitusi yang sama. Republik Filipina yang baru mengalami perubahan menjadi demokrasi, tidak memiliki Mahkamah Konstitusi yang tersendiri. Disamping itu ada pula negara lain seperti Jerman yang memiliki Federal Constitutional Court yang tersendiri.
Di Afrika Selatan, Mahkamah Konstitusi dibentuk pertama kali pada tahun 1994 berdasarkan Interim Constitutionalitation 1993 disahkan, Mahkamah Konstitusi tersebut terus bekerja, yaitu mulai persidangan yang pertama pada bulan Februari 1995. Anggotanya berjumlah 11 orang, 9 orang pria, dan 2 orang wanita, dengan masa kerja 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, apabila mencapai usia maksimum 70 tahun.
Semua anggota Mahkamah bersifat independen, dengan tugas memegang teguh atau menjalankan hukum dan konstitusi secara adil (impartial), dan tanpa rasa takut, tidak memihak, berprasangka buruk.
Sementara di Republik Cekoslovakia, Mahkamah Kontitusi terbentuk sejak Februari 1992, sebelum Republik Federal Cekoslovakia bubar dan menjadi dua negara (Czech dan Slovakia) pada tanggal 31 Desember 1992. Konstitusi Republik Czech yang
disahkan pada tanggal 16 Desember 1992 mengadopsi ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi itu dalam Bab IV nya yang selanjutnya mengatur rincian ketentuan mengenai hal itu dalam UU No. 182/1993 tentang Mahkamah Konstitusi yang berlaku sejak tanggal 16 Juni 1993.
Republik Lithuania yang memerdekakan diri dari kekuasaan Uni Soviet pada tanggal 11 Maret 1996, mengadopsi gagasan constitutional review ke dalam konstitusinya yang disahkan pada tanggal 25 Oktober 1992 melalui suatu referendum nasional. Gagasan itu dicantumkan dalam Bab VIII yang mengatur mengenai Constitutional Court, yang dirinci lagi ketentuannya dalam UU tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan oleh parlemen Lithuania (Seimas) pada tanggal 3 Februari 1999. Jumlah anggotanya sebanyak 9 orang yang diangkat oleh parlemen dari calon-calon yang diusulkan oleh Ketua Parlemen 3 orang, oleh Presiden 3 orang, dan 3 orang lainnya oleh ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dan ditetapkan oleh Parlemen, dari calon yang diajukan Presiden. Para hakim konstitusi ini harus mempunyai reputasi yang tidak tercela, tidak diberhentikan dari jabatan, berpendidikan hukum, dan berpengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun.
Dari contoh-contoh keberadaan Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan, Czech, dan Lithuania, dapat disimpulkan bahwa di lingkungan negara-negara yang berubah kearah demokrasi pada dasawarsa terakhir abad ke-20 pada umumnya mengadopsi gagasan pembentukan ”Mahkamah Konstitusi” seperti yang telah lama berkembang di beberapa negara demokrasi konstitusional di Eropa, dengan masa jabatan yang didasarkan kepada kebutuhan negara tersebut. Oleh karena itu di Indonesia, dalam rangka menyempurnakan pelaksanaan reformasi 1998, dimana konstitusi secara integral
menuju proses demokratisasi yang sejati sangat penting dibentuknya Mahkamah Konstitusi, yang sekaligus akan menggantikan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terkait dengan fungsi Mahkamah itu.

1. Gagasan Tentang Mahkamah Konstitusi Di Indonesia
Setelah dilakukannya Amandemen terhadap UUD 1945 yang merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, mewujudkan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada enam lembaga negara dengan kedudukan yang
sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Berikut perbandingan struktur ketatanegaraan di Indonesia:





DPR PRESIDEN BPK DPA MA
LEGISLATIF EKSEKUTIF YUDIKATIF

Bagan 1: Struktur Ketatanegaran Sebelum Amandemen UUD 1945



BPK MPR PRESIDEN KEKUASAAN KEHAKIMAN
DPD DPR WAPRES MK MA KY
LEGISLATIF EKSEKUTIF YUDIKATIF

Bagan 2: Struktur Ketatanegaraan Setelah Amandemen UUD 1945

Suatu yang perlu digarisbawahi, bahwa hasil Amandemen ketiga UUD 1945 telah melahirkan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), yaitu Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Lembaga ini berdiri sendiri, serta terpisah (duality of jurisdiction) dengan Mahkamah Agung. Dalam menjalankan fungsinya mengawal konstitusi, berdasarkan Pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, lembaga ini mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban dengan perincian sebagai berikut:
Menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD (disputes regarding state institution’s authority), memutus pembubaran partai politik (political party’s dissolution), dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (disputes regarding General Election’s result); dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment).


Gagasan mengenai pentingnya suatu pengadilan konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum kemerdekaan. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan: pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum Indonesia belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.
Namun dalam perkembangannya, gagasan mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif kembali muncul dalam pembahasan perubahan Undang Undang Dasar sehubungan dengan agenda reformasi 1998. Gagasan tersebut juga merupakan dampak dari perkembangan ketatanegaraan Indonesia dimana model kelembagaan “trias politika” mulai menemukan bentuknya. Dalam prakteknya Pemerintah bertanggungjawab atas pekerjaan-pekerjaan eksekutif, yaitu menjalankan Undang Undang, dan parlemen selaku lembaga legislatif membuat Undang Undang.
Sebelumnya, keberadaan lembaga yudikatif hanya berada ditangan Mahkamah Agung. Kemudian amandemen terhadap Undang Undang Dasar menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasan kehakiman/atau yudikatif di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam pasal Pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan begitu, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Dengan demikian Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan
sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Pada porsi inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi mengambil perannya.
Setelah terbentuknya, ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH., Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia yang terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Menurut Jimly, didasarkan kepada kewewenangan yang dimilikinya, fungsi dari Mahkamah Konstitusi dijelaskan sebagai berikut:
“…..Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) hal itu sesuai dengan dasar keberadaan untuk menjaga pelaksanaan konstitusi. Fungsi tersebut membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penafsir konstitusi yang bersifat final (the final interpreter of the constitution). Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi aturan dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy by protecting minority rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).

C. Prinsip Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan Perwujudannya Dalam Bentuk Partai Politik
Konsep negara berdasarkan atas hukum, dan kedaulatan ditangan rakyat, sesungguhnya erat kaitannya dengan prinsip negara demokrasi. Bagi kebanyakan negara di dunia pergeseran menuju penyelenggaraan negara yang demokratis, menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan hukum sebagai suatu bentuk pengaturan yang menempatkan hak asasi manusia sebagai landasan dari semua proses tersebut. Hak-hak asasi manusia dapat menjelma dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam menentukan hidupnya serta mengambil peran dalam proses berkenegaraan.

1. Prinsip Demokrasi
Istilah demokrasi yang dikenal bermacam-macam berasal dari bahasa Yunani “demos” yang artinya rakyat, dan “kratos” yang berarti kekuasaan. Dengan demikian demokrasi dapat ditafsirkan sebagai “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. Jadi demos-kratos, atau demokrasi adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasan oleh rakyat.
Secara terminologis, demokrasi menurut Joseph A. Schumpeter adalah merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara kompetitif atas suara rakyat. Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan/pemerintahan rakyat.
Senada dengan hal tersebut, lebih lanjut Mahfud MD mengatakan kekuasaan pemerintahan ditangan rakyat mengandung pengertian tiga hal penting, yaitu: Pertama, Pemerintahan dari rakyat (government of the people); Kedua, Pemerintahan oleh rakyat (government by the people); dan Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for people). Ia juga mengemukakan dua alasan demokrasi dipilih sebagai dasar dalam bernegara. Yaitu; Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara essensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.
Mengacu pada pengertian diatas, pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Menurut Frans Magnis Suseno, suatu negara disebut demokratis bila terdapat lima gugus pada negara tersebut, yaitu: negara hukum, kontrol masyarakat terhadap pemerintah, pemilihan umum yang bebas, prinsip mayoritas, dan adanya jaminan atas hak-hak dasar rakyat. Sedangkan menurut Robert A. Dahl, terdapat tujuh prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi yaitu; kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan mengakses informasi, dan kebebasan berserikat.



2. Hak Asasi Manusia (HAM)
Dalam A B C Teaching Human Rights, HAM dirumuskan dengan pengertian:
“Human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which can not live as human being.”


Hak Asasi Manusi (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Diantara hak-hak asasi itu yaitu (1) hak asasi pribadi (personal rights) yaitu; hak kemerdekaan, hak menyatakan pendapat, hak memeluk agama, (2) hak politik (political rights), yang mencakup hak untuk diakui sebagai warga negara, hak memilih dan dipilih, hak berserikat, dan hak berkumpul, (3) hak asasi ekonomi (property rights) yaitu; hak memiliki sesuatu, hak mengadakan perjanjian, hak bekerja, hak mendapat hidup layak, (4) hak asasi sosial & kebudayaan (Social & cultural rights) yaitu: hak mengembangkan kebudayaan, hak berekspresi, hak memperoleh pendidikan yang layak, (5) hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Rights of Legal Equality), dan (6) Hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan dan perlindungan (Procedural rights).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya konstitusi dasar Indonesia, yaitu Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah menempatkan tentang Hak Asasi Manusia, sebagai salah satu pokok pikirannya. Hal tersebut menunjukkan betapa

besarnya penghargaan atas HAM, hingga terkodifikasikan dalam Undang Undang Dasar, dan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan. Diantara salah satu hak dalam Undang Undang Dasar, yaitu hak untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat. Hak yang sifatnya politis ini terkait erat dengan proses demokratisasi sebuah negara. UUD 1945 secara tegas meletakkan prinsip-prinsip dasar tentang HAM yang sifatnya politis dalam pasal 28E ayat (3) yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.


Pasal tersebut juga senada dengan pasal (20), Ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM):
“Setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat”

Dengan segala cita-cita idealnya, konstitusi Indonesia berupaya menempatkan prinsip-prinsip demokrasi dalam segala proses kenegaraan. Prinsip yang juga menjunjung tinggi hak asasi manusia, diantaranya hak berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pendapat sebagai hak politis seorang warga negara. Bagaimana suatu konstitusi dapat menempatkan hak-hak tersebut dapat menjadi ukuran sejauh apa prinsip-prinsip demokrasi coba untuk diterapkan suatu negara. Dalam proses berdemokrasi dan memberikan hak seseorang, partai politik adalah salah satu sarana yang tepat.


3. Partai Politik
Hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang secara tegas tertuang dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipahami sebagai kebebasan seorang individu atau kelompok untuk mengambil peran dalam kehidupan bernegara yang mengusung ide-ide demokrasi. Karenanya keberadaan partai politik adalah suatu elemen penting berdirinya negara yang mengklaim demokratis.
Dalam Undang Undang No. 31 Tahun 2003 Tentang partai Politik, dijelaskan bahwa pengertian partai politik adalah:
Organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.

Kemudian partai politik menurut Carl J. Friedrich adalah:
”Sekelompok manusia yang terorgnisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil”.

Dalam negara demokrasi partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi yaitu:
1. Partai sebagai sarana komunikasi politik
Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.


2. Partai sebagai sarana sosialiasi politik
Partai politik juga berperan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political socialization). Didalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umum berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Disamping itu sosilisasi politik juga mencangkup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik.
4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya.

D. Konstitusi Yang Demokratis dan Sebuah Negara Hukum
Istilah konstitusi berasal dari kata ’Constitution’ (Inggris), ’Constitutie’ (Belanda), ’Constituer’ (Prancis) yang berarti membentuk, menyusun, menyatakan. Maksud pemakaian istilah konstitusi ini adalah pembentukan suatu negara, menyusun, dan menyatakan suatu negara. Pengertian konstitusi menurut Sovernin Lohman meliputi tiga unsur, yaitu:
1. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial), artinya konstitusi merupakan hasil atau konklusi dari kesepakatan masyarakat untuk membina negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka;
2. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia dan warga negara sekaligus penentuan batas-batas hak dan kewajiban warga negara dan alat-alat pemerintahannya;
3. Konstitusi sebagai forma regiemenis yaitu kerangka bangunan pemerintah.

Dalam fungsi membatasi kekuasaan para penyelenggara pemerintahan negara sebagaimana disebutkan diatas dimaksudkan agar penyelenggara pemerintahan tidak bersikap sewenang-wenang, sehingga diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindung. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme. Menurut Carl J. Friedrich dalam buku Constitutional Government and Democracy, konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi juga dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan unutk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah, dimana cara pembatasan yang paling efektif ialah dengan jalan membagi kekuasan.



Senada dengan itu, William G. Andrews menyatakan “under constitutionalism, two types of limitations impinge on government. Power proscribes and procedures prescribed”, bahwa konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berketerkaitan satu sama lain, yaitu: pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b) mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara, (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Menurut Sri Soemantri, Konstitusi yang demokratis pada dasarnya berisi tiga hal pokok, yaitu:
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
3. Adanya pendelegasian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

Sri Soemantri, juga mengemukakan pengertian negara hukum sebagai konsepsi yang erat kaitannya dengan konstitusi yang demokratis. Menurutnya unsur-unsur penting dalam negara hukum, yaitu:
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
3. Adanya jaminan kekuasan dalam negara;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle).

Senada dengan Sri Soemantri, dalam rumusan negara hukum, Jimly lebih spesifik lagi dengan mengemukakan dua belas prinsip pokok yang merupakan pilar utama penyangga berdirinya satu negara modern sehingga dapat disebut Negara Hukum dalam arti sebenarnya, yaitu:
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Yaitu adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, dimana semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the law)
Yaitu adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
Yaitu bahwa dalam setiap negara Hukum, diprasyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya, yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
4. Pembatasan Kekuasaan
Yaitu adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertical atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.
5. Organ-organ Eksekutif Independen
Yaitu adanya pengaturan kelembagaan yang bersifat independen untuk membatasi kekuasaan pemerintah.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Yaitu adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
2. Peradilan Tata Usaha Negara
Yaitu ditegaskannya keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara.
3. Peradilan Tata Negara
Yaitu adanya lembaga yang dapat memebrikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, seperti pembentukan Mahkamah Konstitusi untuk memperkuat sistem check and balances antara cabang-cabang kekuasaan untuk menjamin demokrasi.
4. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Yaitu adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum.
5. Bersifat Demokratis
Yaitu dianut dan dipraktekannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan.
6. Welfare Rechtsstaat
Yaitu hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.
7. Transparansi dan Kontrol Sosial
Yaitu adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap proses pembuatan dan penegakkan hukum.

Jadi, dalam negara hukum yang pokok adalah bagaimana dalam proses bernegara dapat mewujudkan prinsip demokrasi, berupa pemisahan kekuasan, serta pemenuhan hak hak asasi manusia, dan menjalankan semua dalam koridor hukum yang telah dispakati bersama oleh rakyat pada suatu negara. Namun yang perlu menjadi catatan terpentingnya adalah bagaimana hukum yang dispakati tersebut bebas dari segala bentuk kekuasaan dan tidak memihak.

E. Kewenangan Pembubaran Partai Politik Yang Konstitusional Oleh Mahkamah Konstitusi
Terkait dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan negara dalam kehidupan yang demokrasi, perlu kiranya memahami kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait dengan proses kehidupan bernegara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, dan memberikan rakyat kebebasan untuk menentukan kehidupannya. Dalam kehidupan berdemokrasi disuatu negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana hak berserikat dan berkumpul termasuk didalamnya, kiranya kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus pembubaran Partai politik perlu ditinjau. Sehubungan dengan keberadaan partai politik sebagai salah satu sarana kehidupan berdemokrasi yang menjadi hak asasi setiap warga negara.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur tentang pembubaran Partai Politik dalam Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk….., memutus pembubaran partai politik.


Begitu pula dalam Pasal 20 Undang Undang No. 31 Tahun 2003 Tentang Partai Politik, ditegaskan bahwa partai politik bubar apabila membubarkan diri atas keputusan sendiri; menggabungkan diri dengan partai politik lain; dan terakhir dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan yang jelas dan tegas menentukan alasan hukum bagi partai politik untuk dibubarkan terdapat pada Pasal 28 ayat (6) UU No. 31 Tahun 2002 yang berbunyi:
Pengurus partai menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang Undang Tentang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf e, huruf d, dan huruf e, dan partainya dapat dibubarkan.


Pasal 107 Undang Undang No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana tersebut berbunyi:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”

“Barangsiapa yang secara melawan hukum dimuka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

a. Barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau pun diduga menganut ajaran Komunisme/Marxixme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. Barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun diluar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxixme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.

Maksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah bahwa pembentukan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, maksud, tujuan, asas, program kerja dan perjuangan Partai Politik tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang Undang No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, berdirinya suatu partai digariskan sebagai berikut:
(1) Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Setiap partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan undang-undang.
(1) Tujuan umum partai politik adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
c. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. cita-citanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(2) Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(3) Tujuan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.

Kemudian mengenai larangan bagi suatu partai ditegaskan sebagai berikut:
(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang atau tanda gambar yang sama dengan :
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c. nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional;
d. nama dan gambar seseorang; atau
e. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik lain.

(2) Partai politik dilarang :
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau
c. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia.

(3) Partai politik dilarang :
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
b. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; atau
c. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.

(4) Partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

(5) Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Dengan demikian, dari pemaparan pasal-pasal pada perundang-undangan yang berbeda diatas, dapat disimpulkan bahwa indikator penting yang diperhatikan Mahkamah Konstitusi dalam proses pembubaran Partai Politik, adalah mengacu kepada:
1. Ideologi Partai
2. Asas Partai
3. Tujuan Partai
4. Program Partai
5. Kegiatan Partai Politik yang bersangkutan.

Pasal 68 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Bagian Kesepuluh Mengenai Pembubaran Partai Politik menyebutkan:
(1) Pemohon adalah Pemerintah
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian, pembubaran partai politik dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan pemerintah, atau dalam hal ini lembaga eksekutif. Dalam permohonannya pemerintah harus memaparkan alasan seputar pembubaran tersebut, berdasarkan indikator-indikator diatas, yaitu Ideologi Partai, Asas Partai, Tujuan Partai, Program Partai, Kegiatan Partai Politik yang bersangkutan. Sehingga sesuai dengan hukum yang mengatur tentang mekanisme pembubaran partai oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian yang dapat menjadi alat bukti sah terkait pembubaran suatu partai politik, adalah:
1. Berkas Anggran Dasar
2. Berkas Anggaran Rumah Tangga
3. Laporan-Laporan, serta surat-surat mengenai keterangan pihak-pihak terait.
4. Saksi
5. Keterangan Pihak-pihak terkait, dan
6. Alat-alat bukti lainnya.

Menurut Jimly, pembubaran Partai Politik dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, apabila suatu partai politik terbukti melakukan:
1. Kegiatan yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibawah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Kegiatan yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. Kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia.




F. Pembubaran Partai Politik Yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Kostitusi
Kebebasan berkumpul dan berserikat adalah implementasi dari pengakuan negara atas hak-hak dasar rakyat untuk mengekspresikan aspirasinya, baik aspirasi kepentingan kelompok, maupun aspirasi mengenai paham tertentu yang diyakininya, sebagaimana kandungan pokok pikiran pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana negara wajib untuk melindungi penyelenggaraan hak-hak tersebut, bukan mengebirinya melalui peraturan-peraturan demi kepentingan tertentu. Kebebasan berkumpul dan berserikat juga adalah corak negara yang memiliki konstitusi yang menjunjung prinsip-prinsip demokrasi.
Dengan kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin negara melalui perundang-undangan, dan sebelumnya ditegaskan dalam DUHAM, maka eksistensi kehadiran partai, sebagai wadah yang menyalurkan ideologi, terletak pada seberapa besar dukungan yang diberikan publik. Dengan demikian eksistensi suatu partai politik tidak terletak pada ada atau tidak adanya surat izin tertentu dari negara atau tidak/belum terdaftarnya partai pada instansi tertentu yang ditetapkan negara. Partai adalah penyalur dan penampung aspirasi rakyat, dimana negara demokrasi harus membebaskan diri dari keperansertaannya baik pada pendirian hingga pembubarannya.
Dari paparan diatas, dapat dikatakan tidak ada alasan yang mungkin suatu partai politik dibubarkan, karena makna demokrasi yang melekat pada partai, idealnya memberikan kebebasan berkaitan dengan ide-ide pendirian suatu partai. Jika melihat kepada ketentuan pembubaran partai oleh Mahkamah Konstitusi, pertanyaan besarnya
adalah “Apakah pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi tidak mencemari kehidupan berdemokrasi dan melanggar HAM, dalam konteks negara hukum yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya kita melihat kepada alasan pembubaran suatu partai politik berdasarkan konstitusi dasar negara Republik Indonesia, dan akar sejarah kepartaian di Indonesia. Undang Undang Dasar menempatkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam membubarkan partai didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang cukup ketat, diantaranya berkaitan dengan ideologi, asas, dan tujuan partai politik. Apakah komponen-komponen tersebut melanggar sebagaimana ketentuan dalam Undang Undang Dasar dan Undang Undang Partai Politik, juga Undang Undang Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks ini pembubaran partai dapat dikatakan karena alasan yuridis konstitusional.
Pertimbangan selanjutnya, yaitu dititikberatkan kepada program partai serta kegiatan partai tersebut. Undang Undang Dasar secara jelas mengatur batasan-batasan yang harus dijaga oleh suatu partai politik untuk menjaga indepensinya dari intervensi luar negeri/asing yang secara jelas dilarang oleh Undang Undang Dasar. Dengan demikian tidak menyulitkan suatu partai untuk terus berada pada koridor hukum. Selain itu suatu partai dapat betul-betul bisa dibubarkan jika memang telah terbukti melakukan pelarangan-pelarangan yang diatur dalam konstitusi. Dalam konteks yang berikut, pembubaran partai dapat dilakukan karena alasan intervensi luar negeri.
Dalam sejarah kepartaian Indonesia berkaitan dengan pembubaran partai, salah satu partai yang dibubarkan adalah Partai Masyumi dengan alasan bahwa partai tersebut terlibat pemberontakan melawan pemerintah. Partai Masyumi yang diklaim sebagai Partai Sosialis Indonesia ini, pembubarannya dilakukan Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin melalui Keppres No. 200 Tahun 1960 tentang Pembubaran Partai Masyumi dan Kepres No. 201 Tahun 1960 tentang Pembubaran Partai Sosialis Indonesia. Tercatat pula setelah itu PKI (Partai Komunis Indonesia) juga dinyatakan dibubarkan seiring dengan adanya Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang terjadi pasca peristiwa G 30 S PKI. Pembubaran tersebut dilakukan Pemerintah era Orde Baru karena akibat dari pemberontakan PKI yang dilakukan lagi di Indonesia.
Gambaran sejarah pembubaran partai politik oleh pemerintah tersebut, memperlihatkan alasan, bahwa keberadaan partai politik yang dibubarkan itu mengancam kedaulatan negara, karena pemberontakan. Kemudian apakah pemberontakan bukan termasuk kategori HAM. Jika kelompok atau golongan tertentu merasa suatu negara tidak sesuai dengan keyakinan mereka, apakah kemudian pendapat tersebut harus disimpan begitu saja. Apakah realisasi melalui pemberontakan adalah pelanggaran atas hukum, bukan semata mengamankan penguasa yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan pemberontak yang berada dibawah kekuasaannya.
Dalam konteks alasan politik seperti ini, bukan tidak mungkin kekuasaan digunakan untuk kepentingan penguasa, dalam hal inilah sebetulnya keberadaan Mahkamah Konstitusi perlu ada. Sebagaimana peran yang hendak diambil suatu lembaga penjaga konstitusi, yaitu untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian yang menjadi jawaban atas pertanyaan diatas, yaitu pembubaran partai politik tidak mencemari kehidupan berdemokrasi ataupun melanggar HAM karena dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi justru berperan besar dalam menjaga hak asasi manusia itu sendiri, Mahkamah Konstitusi justru dapat memberikan jaminan kehidupan yang demokratis. Sehubungan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang berupaya menekan penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga lain. Dikarenakan pengajuan pembubaran suatu partai politik dilakukan oleh Pemerintah (dalm hal ini eksekutif), Mahkamah Konstitusi harus memainkan peran check and balances-nya, serta dalam konteks sebagai penegak hukum, Mahkamah Konstitusi yang memiliki jaminan kebebasan harus berdiri secara independen dalam membuat keputusan, dan menekan penyalahgunaan kewenangan oleh lembaga pemohon pembubaran partai, yaitu pemerintah. Dengan demikian kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum justru untuk mengakomodasi kebutuhan akan kehidupan berdemokrasi dan pemberian hak asasi setiap warga negara, termasuk dalam pembubaran partai.

G. Penutup
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara dengan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi hukum, sebagaimana konstitusi yang menjadi landasan utamanya yaitu Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai sebuah negara hukum, terdapat beberapa prinsip dasar yang harus dianut, diantaranya; prinsip kekuasan sebagai amanah, prinsip musyawarah, prinsip keadilan, prinsip persamaan, prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), prinsip peradilan bebas, prinsip perdamaian, prinsip kesejahteraan, dan prinsip ketaatan rakyat.
Pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut, tidak dapat lepas dari peran kelembagaan negara dalam menjalankan pemerintahan. Untuk itu lembaga-lembaga negara harus sinergis dalam hal kekuasaannya, demi tercapainya negara demokratis yang dicita-citakan segenap bangsa Indonesia. Amandemen Undang Undang Dasar memberikan kontribusi besar terhadap upaya melakukan check and balances antar lembaga negara, dengan dibentuknya lembaga Mahkamah Konstitusi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi selaku kekuasaan yudikatif, memiliki wewenang salahsatunya memutus pembubaran partai. Kewenangan ini sekilas tidak berkesesuaian dengan penyelenggaran negara demokrasi yang idealnya membuka ruang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk dapat menyalurkan aspirasinya dengan cara berserikat/berkumpul dalam wadah partai sebagai suatu hak asasi.
Dengan pertimbangan yang konstitusional untuk melakukan pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi, dan sekian mekanisme yang harus dilakukan, wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik sebetulnya adalah untuk menjamin pelaksanaan demokrasi dan mekanisme ketatanegaraan sesuai UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya untuk menghindari dominasi kekuasaan eksekutif, dan legislatif yang sarat kepentingan. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi dapat menjadi jembatan antara penyelenggaraan hak asasi manusia dengan prinsip demokrasi yang terwujud dalam suatu negara hukum yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Daftar Pustaka

Sumber Buku:
Asshiddiqie Jimly, 2002. Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU, dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia.

----------------------, 2006. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretaris Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

----------------------, 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

----------------------, 2006. Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Azhary, M. Taher, 1992. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Budiardjo, Miriam, 2005. Dasar Dasar Ilmu Politik, Cetakan Keduapuluhtujuh, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fatkhurohman dan Siradjudin, 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Bandung: PT. Citra Adytia Bakti.

Harman, Benny K, 1997. Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: ELSAM.

Ranadireksa, Hendarmin, 2007. Arsitektur Konstutusi Demokratik, Bandung: Penerbit Fokusmedia.

Robertson, Geoffrey, 2002. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Soemantri, Sri, 1987. Prosedur & Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Penerbit Alumni.

Soemantri, Sri, 1997. Hak Uji Material di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni.

Suhelmi, Ahmad, 2001. Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Surbakti, Ramlan, 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Penerbit Grasindo.

Tim Penyusun PUSLIT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press.


Sumber Makalah:

Asshiddiqie, Jimly, “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Bahan ceramah pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung 19 April 2008.

--------------------------, ”Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang Undang Dasar Tahun 1945”, Bahan ceramah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 12-14 Juli 2003.

--------------------------, “Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi”, diakses melalui website resmi Mahkamah konstitusi, www.mahkamahkonstitusi.go.id, pada tanggal 20 Juli 2008.



Sumber Dokumen dan Perundang-undangan:

Jakarta, “Refleksi Akhir Tahun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2006 Dan Harapan 2007”. Bahan konferensi pers akhir tahun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2006, 27 Desember 2006.

Indonesia, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang Undang Negara Republik Indonesia No. 24 Tahun 2002 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Indonesia, Undang Undang Negara Republik Indonesia No. 31 Tahun 2003 Tentang Partai Politik.

Indonesia, Undang Undang Negara Republik Indonesia No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

Indonesia, TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966


Sumber Internet:

Mahkamah Konstitusi, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/MahkamahKonstitusi", diakses 20 Juli 2008