Rabu, 19 November 2008

WILAYATUL FAQIH

WILAYATUL FAQIH:
KONSEPSI IDEAL DALAM SISTEM POLITIK IRAN
Oleh: Nofia Fitri*



“Kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan umat manusia. Karena itu Islam sebagai ajaran yang mengantar peradaban manusia kepada keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan menempatkan persoalan kepemimpinan sebagai perinsip dasar agama.”




I. Gagasan Kepemimpinan Faqih dalam Mazab Syi’ah
Banyak sekali gagasan dan konsepsi tentang tujuan Allah dibumi dan kepemimpinan masyarakat manusia yang tersebar secara luas dalam dunia Islam awal yang sangat tertata secara politis. Penaklukan yang cepat terhadap daerah-daerah yang maha luas dan berlangsungnya proses pengawasan atas penaklukan-penaklukan dan pengaturan-pengaturan urusan-urusan didaerah taklukan itu menuntut untuk tidak hanya adanya kepemimpinan yang kuat dan piawai, tetapi juga adanya suatu penciptaan suatu sistem yang dapat memberikan stabilitas dan kemakmuran. Yang paling penting bagi aktivitas sistem politik dan ekonomi ini adalah janji Islam mengenai penciptaan suatu tatanan masyarakat (pemerintahan) yang adil yang merupakan manifestasi kehendak Tuhan, dimana diyakini umat Muslim adalah terkandung dalam Al Quran dan Sunnah Nabi SAW.
Dalam konteks Syi’ah, pemerintahan adalah milik Imam, sebab dia berhak atas kepemimpinan politis dan otoritas keagamaan. Batu penjuru bagi teori Imamiyyah mengenai otoritas politis adalah keberadaan seorang Imam dari kalangan keturunan Muhammad SAW yang dengan jelas ditunjuk oleh beliau menjadi pemimpin umat Islam. Pengakuan atas otoritas Imam yang ditegakkan berdasarkan hukum itu termasuk diantara kewajiban-kewajiban keagamaan yang harus dilaksanakan oleh para pengikut Syi’ah. Imam Ali dan keturunannya adalah otoritas absah satu-satunya dikarenakan ia adalah seorang pemimpin yang suci dan penafsir otoritatif wahyu Tuhan dan karena itu memenuhi syarat untuk menegakkan negara Islam, sebagaimana juga yang menjadi ciri khas Syi’ah Imamiyyah. Dengan demikian, membangun pemerintahan Islam hanya dapat dilakukan melalui kepemimpinan seseorang yang mampu menafsirkan wahyu Tuhan dan untuk itu adalah ulama (Faqih) sebagai penuntun umat memahami hukum-hukum Tuhan.
Mahzab Syi’ah Imamiyyah menempatkan Imam sebagai penguasa temporal dan spiritual, disebut sebagai wali/naib. Setelah kegaiban panjang Imam ke Dua Belas hingga kemunculannya pada akhir zaman, para ulama merupakan penerus rangkaian kepemimpinan Islam Syi’ah. Mereka disebut sebagai wali’am sebagaimana para Imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi SAW, para ulama mengambil alih peran ini. Tepatnya mereka mewakili pelaksanaan peran ini dari Imam, yakni Imam terakhir yang sedang ghaib. Bahkan dipercaya bahwa para ulama seperti ini mendapatkan bimbingan Imam yang sedang ghaib tersebut, hanya bedanya jika para Imam ini mendapatkan kedudukannya dari Allah, para ulama ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya meliputi ‘adalah (keutamaan dalam hal iman dan ahlak yang memampukan ia menjauhkan dari dosa-dosa), faqaha (penguasa atas hukum dan fiqih Islam), dan kufa’ah (keterampilan kepemimpinan). Dengan prinsip kasih sayang Allah, manusia meyakini Allah tidak akan membiarkan suatu ummat tanpa bimbingan. Dengan kata lain Allah selalu mengirimkan utusan pada setiap umat. Jadi kesinambunagan kepemimpinan sejarah Nabi, Imam hingga mujtahid adalah suatu keniscayaan agama.

- Wasiat Imam Mahdi
Ghaibnya Imam Mahdi, diyakini akan kembali kedunia untuk membela para kaum tertindas. Sebagai Imam terakhir yang keberadaannya disembunyikan, Imam Mahdi dipercaya tetap mengiringi jalan umat manusia hingga tiba kemunculannya. Ketersembunyian itu kemudian disebut sebagai “kegahaiban Kecil” (minor occultation atau ghaibah al- shugra) yaitu ketika Imam Mahdi sembunyi di dunia fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam. Setelah para wakil Imam tersebut meninggal sampai dengan datangnya Al-Mahdi pada akhir zaman, inilah yang disebut sebagai masa ”keghaiban besar” (major occultation atau ghaibah al-kubro). Pada masa “ghaib sempurna” inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih sebagaimana dikatakan Imam Mahdi:
“Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka kembalikanlah kepada para perawi hadis kami (Fuqaha), karena mereka adalah hujjah bagiku dan akulah hujjah bagi Allah SWT.” (A. Schaedina, Kepemimpinan Islam Dalam Perspektif Syi’ah)

Dibawah ini adalah hadis yang termasyur bersumber dari Imam Jafar as-Shadiq:
“Menyangkal wewenang seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam berarti menentang wewenang Nabi SAW. Menentang wewenang Nabi SAW berarti menentang wewenang Allah SWT, menentang wewenang Allah SWT sama dengan syirik.”

Para faqih yang kemudian akan memegang kepemimpinan atas umat berdasarkan wasiat Imam, memiliki otoritas (wilayah) besar, tetapi bukan otoritas absolut (mutlak), otoritas faqih terikat pada norma-norma Islam yang dibangun atas dasar kepentingan umat. Konsep inilah yang dinamakan “Wilayatul Faqih”.
Berdasarkan pemahamam diatas, Imam Khomeini -pemimpin besar Revolusi Islam Iran, yang sekaligus menjadi wali Faqih pertama Iran- mengemukakan tentang kewajiban ditegakkannya Pemerintahan Islam dan Sistem Wilayatul Faqih adalah yang paling ideal diterapkan. Sebagaimana pandangan bahwa Faqih adalah yang paling mengerti tentang hukum-hukum Tuhan, Imam Khomeini meyakinkan Pemerintahan Tuhan adalah penegakkan hukum-hukum Tuhan dimuka bumi, dan karenanya faqih adalah yang paling ‘capable’ untuk menjalankan amanah kepemimpinan itu.
Sehubungan dengan negara sebagai instrumen bagi pelaksanaan Undang Undang Tuhan dimuka bumi dan otoritas serta kedaulatan membuat Undang Undang negara adalah ditangan Tuhan, maka negara haruslah dibangun berdasarkan hukum Tuhan. Karena itulah maka sistem politik Islam harus ditegakkan. Republik Islam Iran, menurut Khomeini dengan bentuk Republik Islam yang juga melaksanakan sistem politik berdasarkan syariah Islam, haruslah menempatkan Faqih sebagai pemimpin tertinggi negara yang berhak tidak hanya pada otoritas keagamaan tetapi juga otoritas politis.

II. Sistem Politik Wilayatul Faqih Dalam Konstitusi Republik Islam Iran
Referendum atas rumusan Konstitusi Republik Islam Iran, telah membawa Sistem Wilayatul Faqih menjadi sistem Pemerintahan Republik Islam Iran yang menempatkan Imam Khomeini sekaligus sebagai wali faqih (pemimpin tertinggi Iran) dan kaum mullah mempunyai ‘space’ sendiri dengan otoritas yang jelas dalam sistem politik Republik Islam Iran. Selanjutnya bagaimanakah Sistem Politik itu kemudian diterapkan di Iran dengan Faqih sebagai pemimpin tertinggi negara, maka analisa mendalam dilakukan pada konstitusi Republik Islam Iran.
Setelah puncak terjadinya revolusi, penataan terhadap negara dimulai dengan perubahan Sistem Politik. Pada bulan maret tahun 1979, melalui suatu plebesit nasional, sistem politik Iran dirubah dari monarki yang turun-temurun menjadi Republik Islam Iran. Pada bulan Agustus 1979, Dewan pakar yang terpilih membuat rancangan Undang-Undang baru, yang kemudian disetujui oleh plebesit lain pada bulan November 1980. Undang-Undang baru ini menggambarkan pandangan-pandangan Ayatullah Ruhullah Khomeini tentang sifat pemerintahan dan kepemimpinan dalam masyarakat muslim dan didasarkan pada kosep Wilayatul Faqih atau perwalian oleh pemimpin keagamaan tertinggi.
Untuk memahami bagaimana otoritas faqih atau dalam konsep kepemimpinan faqih sebagaimana gagasan yang dikembangkan Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang diterapkan di Iran, perlulah kita menganalisis lebih jauh struktur pemerintah Republik Islam Iran sebagaimana terkandung dalam konstitusi (UUD) Iran. Dalam kenyataannya bisa dikatakan konstitusi Iran tersebut diyakini sebagai bermuatan pemikiran Imam Khomeini, dengan dasar pertimbangan. Pertama, selain Ayatullah Khemeini sendiri, seluruh ahli yang terlibat dalam penyusunana UUD –apakah ia anggota Dewan Revolusi, Majles Konstituante, atupun anggota Dewan Permusyawaratan (Majles Syura-iIslami) yang didominasi oleh partai Republik Islam Iran (pada waktu itu), dan lain-lain sebagian besarnya, kalau tidak malah semuanya, adalah murid-murid pengikut setia Khomeini. Kedua, untuk sebagian besarnya UUD Iran tentu sejalan dengan kenyataan Khomeini sebagai pemimpin tertinggi politik dan spiritual.
Belakangan diputuskan untuk menggantikan Majlis konstituante yang besar itu dengan Dewan Ahli (Majles –I Khubregan). Para anggota terpilih dewan ini yang sedikit atau banyak tetap saja memiliki pandangan yang sejalan dengan Khomeini- melakukan penelaahan seksama serta revisi ekstensif atas draft konstitusi. Hampir tidak ada satu pasal pun yang disahkan tanpa melalui pembahasan mendalam, baik mengenai substansi, maupun redaksinya. Teks yang mendapat persetujuan akhir dari Dewan Ahli, ketika pekerjaan selesai pada November 1979, sangat berbeda dengan draftnya, baik alam segi jumlah pasal, struktur maupun isinya. Menurut Hamid Algar, “perbedaan tunggal yang sangat penting adalah masuknya kedalam konstitusi itu konsep utama wilayah al-faqih (pemerintahan faqih)”.
Doktrin ini seperti yang diuraikan panjang lebar oleh Imam Khomeini pada kuliah-kuliahnya yang termasyur di Najaf pada 1969:
“Sesuai dengan prinsip-prinsip kepemimpinan (wilayah al-amr) dan kebutuhan abadi akan kepemimpinan (Imamah), konstitusi memperlengkapi kekuasaan kepemimpinan dengan seorang faqih yang memiliki kualifikasi penting (jami al-shara’it) dan dikenal sebagai pemimpin oleh rakyat yang sesuai dengan hadis “pemimpin urusan (umum) ada ditangan mereka yang percaya pada Allah dan dapat dipercaya dalam berbagai hal mengenai yang diizinkan dan dilarang oleh-nya. Kepemimpinan demikian akan mencegah berbagai penyimpangan dari kewajiban Islami mereka yang pokok oleh pelbagai aparat Negara”.

Kutipan diatas adalah cuplikan bagian awal dari konstitusi Iran yang menempatkan gagasan utama mengenai Wilayatul Faqih. Dalam hal ini menegaskan Iran dengan Sitem politik Islam yang menempatkan faqih sebagai penerus kepemimpinan Imamah sebagaimana dalam doktrin Syi’ah, telah terlegitimasi secara politik atas kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi umat.
Penekanan ini dikarenakan fungsi pemimpin sebagai pemegang kekuasaan, maka kekuasaannya haruslah ditempatkan sebagai tertinggi dalam konteks bernegara, dan berkenaan dengan fungsi sebagai pengarah aktifitas untuk tujuan tertentu. Kemudian ditegaskan dalam pasal 5 UUD Republik Islam Iran yang berbunyi:
“Selama ketidakhadiran Imam ke Dua Belas, dalam Republik Islam Iran, kepemimpinan urusan-urusan dan pimpinan umat merupakan tanggung jawab seorang faqih (ahli hukum Islam) yang adil dan Taqwa, mengerti zaman, pemberani, giat, dan berinisiatif yang dikenal dan diterima mayoritas umat sebagai Imam pemimpin mereka”.

Yang dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah Faqih dengan mengacu kepada fungsi Imam sebagaimana dalam Syi’ah, yaitu wakil Imam Mahdi, yang memperoleh legitimasi politik dan agama, dikarenkan wilayah (otoritas) yang dimilikinya. Yang digambarkan tersebut adalah seorang Wali Faqih atau Rahbar sebagai pemimpin tertinggi Iran (Ali Khamenei saat ini). Dan dijelaskan kemudian jika tidak ada seorang faqih yang memenuhi keseluruhan persyaratan tersebut, konstitusi Iran mengatur:
“Apabila faqih seperti itu tidak dipunyai mayoritas sifat semacam itu, maka suatu Dewan pimpinan yang terdiri dari para fuqaha memenuhi syarat-syarat tersebut diatas, maka akan memegang tanggung jawab itu’.Yang dimaksudkan dengan Dewan tersebut adalah Dewan Ahli yang bertugas memilih wali faqih, dimana mereka dipilih langsung oleh rakyat.

Pasal 7 Republik Islam Iran kemudian lebih mempertegas, bahwa faqih yang akan memenuhi tugas tersebut, ditunjuk Dewan Ahli, dimana mereka terdiri dari tiga atau lima marja yang memilki persyaratan untuk membentuk Dewan Faqih. Wali Faqih tersebut antara lain memiliki kekuasaan untuk mengangkat otoritas yudisial tertinggi dan panglima angkatan bersenjata, kekuasaan untuk memobilisasi angkatan bersenjata, dan kekuasaan untuk memecat presiden.
Pada pasal 1, mengenai bentuk Republik Islam, terlihat adalah upaya modifikasi sebuah sistem politik Islam dengan yang sangat bernilai demokrasi, karena penekanan Republik adalah kekuasaan rakyat. Sesungguhnya Republik Islam Iran (RII) memang dirancang untuk menerapkan unsur-unsur asasi sebuah sistem demokratis. Yang terpenting diantaranya RII menerapkan sistem pemilu untuk membentuk tak kurang dari tiga lembaga tertingginya. Pertama, pemilu membentuk Dewan Ahli (majles –I Khubregan). Kedua, dalam sistem RII pemilu juga dilaksanakan untuk memilih para anggota parlemen, yakni Dewan Permusyawaratan Islam (Majles Syura –yi Islami) sebagai lembaga tertinggi negara yang dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu pemilu berdasarkan sistem distrik. (Bahkan, meskipun RII menganut sistem presidensial, pemilihan menteri-menteri sebagai pembantu presiden harus mendapatkan approval dari parlemen) Ketiga, pemilu untuk memilih presiden secara langsung. Diluar itu, konstitusi RII juga mewajibkan pemungutan suara secara langsung oleh rakyat -referendum- dalam penetapan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, dan sosial budaya yang amat penting.
Seperti diketahui, dalam sistem Republik yang didalamnya parlemen beranggotakan orang-orang yang dipilih oleh rakyat, lembaga ini adalah lembaga legislatif tertinggi negara yang tidak bertanggung jawab terhadap siapapun kecuali rakyat. Dengan kata lain, lembaga ini bebas membuat legislasi dan hanya terikat pada aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh. Sementara, menurut penafsiran para pemimpin revolusi Iran, sumber legislasi adalah syaria. Legislasi extra-syariah, kalaupun diterima, harus merupakan turunan atau pengembangan dari syariah, atau setidaknya tidak bertentangan dengan syariah tersebut.
Terdapat persoalan dalam hal ini, bagaimana agar legislasi extra-syariah ini tidak bertentangan dengan syariah. Caranya adalah dengan memperkenalkan suatu konsep yang disebut Dewan Ahli (The Council of Guardianship) yang di Iran disebut Shuraye Negahban. Artinya perundang-undangan yang sudah disetujui oleh Parlemen baru menjadi sah hanya dengan persetujuan Dewan Ahli ini -yakni enam orang faqih-dipilih oleh Wali Faqih. Setengah anggota yang lain meliputi enam ahli dibidang hukum (non-keagamaam) yang dipilih oleh parlemen. Penentuan apakah suatu perundang-undangan yang telah disahkan oleh parlemen sesuai dengan peraturan Islam atau tidak, memerlukan suara mayoritas dari semua anggota Dewan Ahli.
Presiden sendiri bertanggung jawab kepada rakyat karena dipilih oleh rakyat, melalui parlemen yang juga dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, menurut pemahaman Bapak Revolusi Islam Iran, didalam sistem kepemimpinan Islam wewenang parlemen untuk meminta pertanggungjawaban presiden bukan tidak terbatas. Pada akhirnya Parlemen harus bertanggungjawab kepada Imam, atau Wali Faqih. (pasal IX, ayat 122 UUD Republik Islam Iran), melalui Dewan Wali meng-approve atau tidak meng-approve calon presiden, ia sekaligus berwenang untuk memecat presiden dalam hal presiden dianggap tidak capable, setelah mendapatkan rekomendasi mahkamah Agung. Kekuasaan Wali Faqih seperti ini pernah diterapkan oleh Ayatullah Khomeini ketika ia memecat Abol Hasan Bani Sadr, presiden Iran pertama pasca revolusi Islam.
Dalam gambaran proses diatas, Iran tampak sekali mewakili bentuk pemikiran tertentu dalam Islam yang menganggap negara didalam Islam sebagai ditujukan untuk mencapai sasaran-sasaran yang tak semata-mata bersifat duniawi (materialistik) Meskipun demikian, dalam prakteknya hal itu tampaknya tidak hendak dicapai lewat sesuatu yang dalam kosakata politik disebut sebagai ‘teokrasi’, melainkan lewat suatu mekanisme semacam nomo-demokrasi gabungan antara sistem berdasarkan nomokrasi atau kekuasaan berbasis kedaulatan hukum demokrasi) Atau sebut saja ‘Teo-Demokrasi. Sebagaimana pemahaman Al Maududi tentang bentuk pemerintahan Islam, sebuah sistem politik yang menggabungkan pemerintahan oleh hukum Tuhan atau syariah dengan demokrasi yang mengandalkan partisipasi masyarakat atau orang banyak.
Kemudian menganalisa bagaimana sistem yang sepintas bertentangan tersebut lantas dapat bertemu, yaitu sistem yang teokratis dengan demokratis, dimana Pemerintahan syariah didasarkan atas kemutlakan wahyu, sementara demokrasi berdasar pada relatifitas manusia. Dalam hal ini terdapat argumen bahwa Islam dengan tegas menolak teokrasi, jika sistem ini dipahami sebagai kekuasaan oleh orang-orang atau suatu kelompok yang mengklaim sebagai wakil atau suara Tuhan yang mutlak (absolute) yang bebas dari kesalahan dan yang sabdanya berarti hukum yang tidak bisa ditawar dengan cara apapun. Pada puncaknya sistem teokrasi Islam bukanlah berlandaskan pada seseorang, melainkan pada hukum. Penguasa meskipun ia seorang ahli hukum (faqih) tertinggi, bukanlah wakil atau suara Tuhan. Ia dipilih berdasarkan kualifikasi-kualifikasi tertentu yang sedikit-banyak bersifat relatif. Ia tidak lah bebas dari kesalahan. Seorang faqih bisa saja salah, dan keputusannya bisa saja dipersalahkan meskipun hanya oleh institusi lain yang diakui oleh konstitusi.
Dalam konstitusi RII, secara eksplisit, Wali Faqih adalah setara dengan seluruh warga Negara dimata hukum (pasal VIII, ayat 107) Lebih dari itu, Wali Faqih atau Dewan faqih diangkat dan bisa diberhentikan oleh Dewan Ahli yang notabene-nya dipilih oleh rakyat (ayat 111). Yang kedua, bagi orang beriman, pendangan dikotomis seperti ini sulit diterima. Bagi mereka, segala yang datang dari Tuhan adalah sesuai dengan fitrah (kecendrungan asasi) manusia. Artinya, mesti tidak berbenturan dengan pemikiran manusia. Meninjau peristilahan teologi, wahyu yang qath’I (valid) tidak mungkin bertentangan dengan hasil penalaran (akal) yang valid pula. Dalam hal inilah teologi politik Syi’ah menekankan rasionalitasnya, hingga teologi Syiah tergolong dalam teologi kritis yang menentang teologi taradisional. Bagi setiap Muslim yang rasional, apa yang dikatakan sebagai sesuatu yang baik oleh Tuhan pasti baik menurut akal; sedangkan yang dikatakan buruk oleh Tuhan pasti buruk pula menurut akal. Karena itulah revolusi Islam Iran –salah satu motor penggeraknya, adalah teologi politik Syi’ah yang menekankan rasionalitas dan daya nalar. Demikian pula sebaliknya, keberadaan syariah yang bersifat keilahian dan pengakuan atas wewenang para fuqaha untuk menerapkannya diperlukan mengingat pada kenyataannya -kehendak rakyat –meskipun kesepakatan orang banyak dipujikan tidak bisa dijamin bebas dari kesalahan.


III. Sistem Kepemimpinan Wilayatul Faqih dan Aspek Demokrasi
Konsep Wilayatul Faqih, telah menjadi tema sentral dalam perbincangan wacana politik didunia saat ini. Gagasan dan model Sistem Pemerintahan yang diperkenalkan Imam Khomeini ini telah mencengangkan para pakar teori politik, karena konsep Wilayatul Faqih telah berhasil memadukan antara peran Tuhan dan peran rakyat dalam sebuah pranata sosial yang jauh dari paradoks-paradoks yang terdapat dalam demokrasi.
Bagi banyak kalangan sekuler, pemerintahan agama dianggap otokratik, hingga sama sekali jauh dari demokrasi, padahal sesungguhnya jika penelitian lebih dalam dilakukan, maka pemahaman tentang agama (Islam) itu sendiri adalah demokrasi yang sebenarnya.
Pada prinsipnya, dalam ajaran-ajaran Islam, rakyat diseru untuk ikut serta dalam menentukan nasib mereka sendiri. Agama ini mendorong rakyat untuk bermusyawarah dalam setiap urusan penting dan menyatakan pendapat serta keyakinan mereka. Islam pun memandang pendapat dan suara rakyat sebagai sesuatu yang penting. Didalam Al-Quran, Allah SWT meminta kepada Nabi-Nya agar bermusyawarah dengan rakyat, dan didalam surat Asy-Syura disebutkan bahwa salah satu sifat mukminin ialah bermusyawarah dan mencari kesepakatan dalam tiap urusan mereka.
Diantara ajaran Islam untuk melibatkan rakyat dalam menentukan nasib sendiri ialah mendorong mereka untuk melaksanakan ‘amar maruf nahi munkar’. Dalam arti bahwa Allah SWT meminta kepada muslimin untuk mengabaikan apa saja yang berlaku disekitarnya, dan hendaknya mereka menunjukkan sensitifitas terhadap kesalahan dan kejahatan yang mereka lihat.
Islam mengakui kebebasan manusia. Para tokoh agama berkali-kali menekankan kemerdekaan manusia dan bahwa manusia diciptakan dalam kebebasan. Islam juga memperkenalkan kebebasan sebagai hak alami setiap manusia. Oleh karena itu, dalam Islam, penerimaan agama dengan terpaksa, tidak dapat dibenarkan, dan setiap orang bebas dalam memilih jalan hidupnya. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan kebebasan yang diarahkan sedemikian rupa, sehingga ia tidak akan disalahgunakan, dan jangan sampai menjadi pencegah perkembangan dan kesempurnaan materi dan maknawi manusia. Dengan kata lain, kebebasan dan kedaulatan rakyat didalam sistem pemerintahan Islam berada didalam kerangka Undang Undang dan nilai agama, dan didefinisikan dalam bingkai sistem agama dan kehendak rakyat.
Pada konsep Wilayatul Faqih, sebagaimana pandangan Imam Khomeini, banyak yang mengira sikap Imam Khomeini yang seolah-olah mendua (ambivalensi). Disatu sisi beliau menegakkan Wilayatul Faqih sebagai institusi yang berasaskan legitimasi Ilahiyyah (Divine Legitimacy) yang menolak asas demokrasi, namun disisi lain beliau terkesan mendukung asas demokrasi. Terbukti dengan referendum yang dilakukan di Iran dalam penentuan bentuk negara, hingga penerimaaan akan konstitusi baru. Jelas dalam hal ini, dengan pilihannya sendiri rakyat menghendaki manajemen Islam untuk berkuasa atas nasib mereka.
Kembali pada konsep Wilayatul Faqih, kiranya konstitusi Iran menjelaskan tentang Wali Faqih yang diangkat oleh Dewan khusus (Dewan Ahli), dimana anggota Dewan Ahli itu sendiri adalah dipilih langsung oleh rakyat. Lalu mengapa bukan rakyat yang memilih langsung wali faqih tersebut, karena para pendiri Republik Islam itu percaya jabatan pemimpin spiritual adalah jabatan terspesialisasi yang membutuhkan kualifikasi tertentu antara lain penguasaan atas syariah. Karena itu yang memilih mereka, juga harus orang-orang yang memilki kualifikasi atau spesialisasi yang sama, yaitu kaum ulama.
Mengenai Wali Faqih sendiri, meski mempunyai wewenang menunjuk sebagian anggota Dewan Wali (Syura –e Negahban), yang berfungsi memastikan bahwa Undang Undang yang dihasilkan parlemen tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar, -lagi lagi suatu praktek yang lazim dinegara modern- Wali faqih tidak terlibat penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Fungsinya lebih banyak sebagai pembimbing spiritual atau semacam Ketua Mahkamah Agung. Sekalipun wali faqih memilki kekuasaan spiritual yang besar, ia sama sekali jauh dari kesan sebagai pemimpin negara yang tertutup dari sifat demokratis seperti pandangan beberapa pihak. Karena republik itu sendiri diselenggarakan dengan didasarkan sebuah konstitusi atau Undang Undang Dasar dan berbagai perangkat politis serta hukum dan perudang-undangan yang mengikutinya.
Perlu diingat Republik Islam Iran dengan sistem Wilayatul Faqih-nya, secara eksplisit menganut sistem Republik yang bukan saja merupakan konsep Trias Politika secara penuh dan modern –pemisahan tegas lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif- tetapi juga mengandalkan sistem pemilu terbuka guna memilih pemimpin mereka. Seperti diketahui di Republik Islam Iran, sedikitnya terdapat tiga pemilu yang diselenggarakan langsung yakni memilih anggota parlemen, presiden, dan Dewan Ahli yang nantinya akan mengangkat Rahbar.
Ayatullah Uzma Sayid Ali Khamenei dalam mendefinisikan demokrasi agama, ia berkata "Demokrasi agama artinya suara rakyat yang dipandang dari sudut logika agama, dengan penghormatan yang diberikan oleh agama terhadap suara rakyat dan kemuliaan manusia. Agama memberikan tanggungjawab yang serius kepada setiap pemerintahan terhadap rakyat. Agama tidak menerima kediktatoran dan keotoriteran dari penguasa mana pun dalam bentuk apa pun”.
Dalam berbagai pesan yang beliau sampaikan, beliau menekankan bahwa demokrasi agama tidak sama dengan demokrasi Barat yang diberi warna Islam. Akan tetapi demokrasi agama lahir dari hakekat agama serta berdasarkan nilai-nilai ajarannya. Dalam pandangan pemerintah dan media massa Barat, satu-satunya jalan penegakkan kedaulatan rakyat ialah demokrasi Barat. Akan tetapi bertentangan dengan pandangan mereka itu, realisasi kedaulatan rakyat dapat dilakukan dalam berbagai cara, dimana demokrasi agama adalah cara yang paling tepat untuk itu.
Pada akhirnya, jika dilakukan analisa lebih jauh terhadap konsep Wilayatul Faqih dengan melakukan analisa terhadap bagaimana bentuk kepemimpinan faqih terdapat nilai-nilai demokrasi. Sebagaimana analisa penulis pada konstitusi Republik Islam Iran, yang mencirikan nilai-nilai demokrasi atau mendekati kepada bentuk teo-demokrasi, maka terlihat bahwa sesungguhnya demokrasi itu sendiri adalah ciri dari Sistem Wilayatul Faqih, dan dalam hal ini penulis setuju untuk mengatakan bahwa demokrasi sesungguhnya terdapat dalam Islam.

IV. Periode Kepemimpinan Faqih Republik Islam Iran
1. Kewalifaqihan Imam Khomeini
Munculnya Ayatullah Ruhullah Khomeini sebagai penggerak revolusi di Iran, kemudian mengantarkannya sebagai Bapak Revolusi Islam Iran dan “The Founding Father” dari Republik Islam Iran. Dalam kepercayaan Syi’ah mengenai wakil dari ghaibnya imam Mahdi, Khomeini kemudian memperoleh gelar keimamannya sebagai pemimpin tertinggi umat Syi’ah, sekaligus setelah pengesahan konstitusi secara aklamasi rakyat mengangkatnya sebagai wali faqih pertama Republik Islam Iran.
Posisi Imam Khomeini, saat itu memang karena ialah yang memimpin terjadinya Revolusi Islam Iran dan karena, segala kualitas seorang faqih telah ada dalam dirinya, dan tidak perlu dipertanyakan kembali, serta kecintaan rakyat akan pemimpin ini yang menyatakannya pada posisi wali faqih pertama Iran. Konstitusi kemudian mengatur bagaimana kemudian pengangkatan wali faqih selanjutnya.
Periode awal kekhalifahan Imam Khomeini, dimulai dengan pengangkatan Dr. Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri sementara Iran, sebelum kembalinya Imam dari pengasingannya di Perancis. Pemilu pertama yang diselenggarakan Iran menjadikan Abolhasan Bani Sadr sebagai presiden pertama Republik Islam Iran. Otoritas Khomeini pula yang kemudian memecat Bani Sadr dari jabatannya, karena ia dianggap berkoalisi dengan kelompok aliran kiri yang telah dilarang Khomeini. Jatuhnya pemerintahan Bani Sadr memaksa Perdana Menterinya M. Ali Rajae menggantikan posisi presiden, hingga kemudian ia tewas dalam pengeboman bersama dengan Perdana Menteri Javad Bahonar dan Ayatullah Bahesti yang saat itu adalah sekjen Partai Republik Islam.
Mengenai wali faqih, Imam Khomeini mengatakan:
“Wali Faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme, pengetahuan, dan kompetensi yang telah disetujui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur mana yang memenuhi kriteria semacam itu. Rakyat sendirilah, sekali lagi harus mengelola urusan-urusan administratif dan bidang-bidang kerja serta urusan-urusan lain dalam pemerintahan mereka, rakyat berhak memilih sendiri presiden mereka, dan memang sudah semestinya demikian. Sesuai dengan hak asasi manusia, anda semua, rakyat harus menentukan nasib anda sendiri. Majelis (Parlemen Iran) menempati posisi tertinggi di atas semua institusi yang lain, dan Majelis ini tidak lain merupakan pelembagaan kehendak rakyat.”

2. Kewalifaqihan Ayatullah Ali Khamenei
Setelah hampir dua minggu dirawat di rumah sakit, 4 Juni 1989, Pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Imam Khomeini, berpulang kerahmatullah. Pemerintah Teheran segera mengumumkan hari berkabung nasional selama 40 hari, selama 5 hari semua aktivitas ekonomi dan pemerintahan dihentikan guna menghormati kepergian Imam Khomeini. Bahkan beberapa negara sahabat Iran juga mengumumkan hari berkabung nasional, diantaranya Pakistan (selama 10 hari) dan Suriah (7 hari) serta pemerintahan golongan Islam di Libanon yang dipimpin PM Salim El-Hoss (3 hari). Begitu pula umat Islam di India dan Muangthai.
Bahwa suasana berkabung juga dirasakan oleh masyrakat Islam diluar Iran, sebenarnya menunjukkan bagaimana besarnya pengaruh Imam Khomeini di dunia Islam. Memang, Imam Khomeini tidak hanya dianggap sebagai keberhasilan kaum revolusioner Islam Iran dalam meruntuhkan rezim Dinasti Pahlevi dukungan Amerika, tetapi juga dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap westernisasi dan easternisasi. Sistem Republik Islam yang ditegakkan 10 tahun silam, barangkali mencerminkan ketegasan sikapnya yang paling mendasar, bahwa ada alternatif ketiga selain kapitalisme dan komunisme. Laa Syarqiyyah, Laa Gharbiyyah, Jumhuriyyah Islamiyyah (tidak Timur, tidak Barat, tapi Republik Islam). Begitulah semboyan almarhum yang sangat terkenal.
Petanyaan yang kemudian akan muncul adalah, bagaimana Iran sepeninggal Imam Khomeini, dan terutama siapa yang akan memimpin Iran pasca Imam Khomeini. Adalah Ayatullah Al Uzhma Sayyid Ali Huseni Khamenei, yang saat itu menjabat sebagai presiden Iran, dipilih oleh Dewan Ahli sebagai pengganti Imam Khomeini, 5 Juni 1989.
Tak bisa dipungkiri oleh siapa pun bahwa Imam Khomeini merupakan pemimpin Besar Revolusi Islam Iran dan Bapak Pendiri Republik Islam Iran. Dialah tokoh yang selam satu dasawarsa terakhir menjadi sentral dari dinamika politik Iran, dan tokoh yang –antar lain melalui pemikiran-pemikirannya –akan tetap mempunyai pengaruh besar dimasa-masa mendatang. Sekali pun demikian, seperti diketahui, wafatnya Imam Khomeini ternyata tidak menimbulkan gejolak sebagaimana diramalkan banyak analisis politik sebelumnya. Bahkan pemilihan Ayatullah Ali Khamenei sebagai pengganti Imam Khomeini, yang dilakukan oleh Dewan Ahli (majlis –e Khobregan) hanya 20 jam setelah Imam wafat, berjalan dengan sangat lancar.
Sebagaimana para mullah lainnya yang saat ini memegang jabatan penting, Ali Khamenei mencapai puncak karir politiknya karena dua hal. Pertama, karena perjuangannya dalam menentang rezim Shah, dan kedua, karena hubungannya yang dekat dengan Khomeini.
Khemenei, yang bernama lengkap : Hojjat ul-Seyyed Ali Hussein Khamenei, lahir di Marsyhad Iran Utara pada tahun 1939 dan berasal dari keluarga taat beragama. Ia belajar agama di Najaf Pusat Syi’ah di Irak pada tahun 1952. Enam tahun kemudian menjadi salah seorang murid Khomeini dikota Qum. Antara tahun 1964-1978, enam kali Khamenei masuk penjara karena menentang Shah.
Karier politik Khamenei mulai melaju setapak demi setapak, setelah runtuhnya kekuasaan Shah. Sebelum terpilih sebagai presiden Iran ke-3 (2 Oktober 1981) menggantikan Bani Sadr yang tersingkir (Juni 1989) dan Ali Rajae yang terbunuh (Agustus 1981). Khamenei pernah menduduki sejumlah posisi penting. Diantaranya, adalah sebagai deputi menhakam, komandan Pasdaran, Wakil Khomeini dalam Dewan Pertahanan Tertinggi dan Imam Jum’at di Teheran. Tetapi nama Khamenei sendiri baru ‘diperhitungkan’ setelah tewasnya Ayatullah Mohammad Bahesti, tokoh mullah yang paling berjasa dalam menyapu bersiih golongan nasionalis dari percaturan politik post-revolusi.
Sesuai dengan konstitusi Ali Khamenei memenuhi syarat sebagai Rahbar menggantikan Imam Khomeini dengan kualifikasi adil, shaleh, yang sepenuhnya menyadari situasi dan kondisi zamannya, berani, cerdik, memiliki kemampuan administratif. Awal periode kewalifaqihan Khamenei setelah pengangkatannya sebagai pemimpin tertinggi Republik Islam Iran. Bersamaan dengan itu pula pemilihan presiden 28 Juli 1989 yang kelima kalinya sejak berakhirnya sistem monarkhi pada 1979 yang diadakannya bersamaan dengan referendum amandemen konstitusi Republik Islam Iran, yang memunculkan Rafsanjani sebagai presiden Iran dengan sebuah kekuasaan baru, kekuasaan eksekutif yang lebih riil, berkaitan dengan dihapuskannya kedudukan perdana menteri.
Rakyat Iran sangat patuh pada fatwa dan pendapat yang dikeluarkan oleh Ayatullah Khamenei. Dan diantara ungkapan ungkapan ia sering menegaskan bahwa bangsa Iran tidak akan bersedia menerima kezaliman dari siapa pun dan dari kekuatan manapun didunia ini. Ia menambahkan, umat Islam tidak akan menzalimi siapapun dan tidak akan merampas hak-hak bangsa manapun di dunia ini. Akan tetapi jika negara-negara super power, sebagaimana kebiasaan mereka, ingin merampas hak-hak bangsa Iran, maka kami akan menerimanya.
Ayatullah Khamenei sering menegaskan bangsa Iran yang besar bukanlah bangsa yang menyerah pasrah menerima penindasan, akan tetapi ia akan bangkit menghadapi kezaliman dan tidak bersedia menerima penindasan negara lain. Dan musuh-musuh bangsa dan pemerintahan Islam Iran, yang merupakan pemerintahan yang berdiri diatas keyakinan dan ideologi rakyatnya, selama dua puluh tahun lebih dari sejak kemenangan revolusi Islam ini, baik diluar maupun didalam, namun hingga kini mereka tidak pernah berhasil. Ia selalu menegaskan bahwa bagi para pengumpul kekuasaan dan kekayaan duniawi, tak secuil pun dari hak asasi manusia dan khormatan memiliki arti, dan mengatakan bahwa para penguasa zalim ini tidak akan lagi dapat berbuat banyak terhadap Iran, karena saat ini Iran sudah semakin kuat, semakin besar dan semakin meningkatkan peran aktifnya dalam percaturan dunia internasional.

*Penulis adalah Alumni Ilmu Politik sekaligus Pendiri KELOMPOK STUDI MAHASISWA UNIVERSITAS ”PERJUANGAN’ NASIONAL. Aktif sebagai PENELITI MUDA PESANTREN ILMU KEMANUSIAAN DAN KENEGARAAN (PeKiK) INDONESIA, dan Dewan Eksekutif NURCHOLIS MADJID SOCIETY (NCMS).

Tidak ada komentar: